PERBANDINGAN ALIRAN (AKAL DAN WAHYU SERTA IMAN DAN KURUF)
A. Latar Belakang
Sejarah perkembanganpemikiran
Islam mencatat bahwa munculnya persoalan kalam justru bermuara dari perbincangan umat tentang persoalan politik,
yakni bermula dari masa kekhalifaan Utsman yang mengakibatkan lahirnya beberapa kelompok dengan berbagai aliran pemikiran,
salah satunya yakni perbedaan aliran tentang perbedaan Iman dan kufur,
serta akal dan wahyu.[1] Konsep iman dan kufura dalahd uahal
yang saling berkebalikan.
Secara garis besarnya dapat disimpulkan bahwa bila iman diartikan sebagai percaya,
maka kufurdiartikan tidak percaya atau bisa diartikan tertutup.
Sementara itu, akal merupakan salah satu karunia Tuhan
yang terbesar bagi manusia. Dengan akal,
manusia memiliki nilai lebih dari segala makhluk lainnya. Lebih dari itu,
akal merupakan salah satu alat atau sarana yang sangat penting bagi manusia, karena di
samping sebagai alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, juga merupakan salah satu persyaratan mutlak adanya pembebanan
(taklif) pada manusia.[2]
Dalam ajaran agama-agama samawi, ada dua jalan yang
dapat ditempuh oleh manusia untuk menghasilkan pengetahuan, yaitu akal dan wahyu. Inilah
yang kemudian menjadi landasan polemik di kalangan teolog dan filosof Islam,
tentang otoritas akal dan wahyu dalam menghasilkan suatu pengetahuan.B. Rumusan Masalah
- Definisi akal dan wahyu serta iman dan kuruf
- Pandangan beberapa aliran tentang akal dan wahyu
- Pandangan beberapa aliran tentang iman dan kuruf
- Analisis Perbandingan.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Akal dan Wahyu, Serta
Iman dan Kufur.
1. Akal
Kata “akal” yang telah menjadi
kosa kata bahasa Indonesia, secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu
al-‘aql (العقل ) yang berarti: ikatan, pikiran, pemahaman dan pengertian.[1]
Kata عقل dapat diartikan sebagai cahaya rohaniah yang dengannya dapat dijangkau
sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh
indra. Kata akal dapat juga ditemui penggunaannya dalam Alquran sebanyak 49
kali, meski hanya dalam bentuk kata kerja (فعل ). Dalam hal ini, kata عقلوه 1
kali, kata تعقلون 24 kali, kata نعقل 1 kali, kata يعقلها 1 kali, sedangkan kata
يعقلون sebanyak 22 kali. Dari kata-kata tersebut mempunyai dua arti pokok,
yaitu berarti faham dan mengerti.[2]
Selain
itu, Harun Nasution mendefinisikan akal sebagai daya pikir yang dianugrahkan
Allah kepada manusia untuk menghasilkan pengetahuan melalui kesan-kesan yang
diperoleh pancaindra. Akal dalam pengertian Islam, tidak dimaksudkan sebagai
otak, tetapi merupakan daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia untuk
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam
pengertian inilah yang kemudian dikontraskan (dalam Islam) dengan wahyu,
sebagai sumber pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Allah Swt.
Dengan
demikian, dapatlah dipahami bahwa akal yang terdapat dalam diri manusia,
merupakan suatu daya yang dengannya manusia dapat hidup bermutu dan dinamis,
karena tingkah laku dan perbuatan manusia dilakukan atas dasar pengertian atau
pengetahuan dan motivasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
1. Wahyu
Kata “wahyu” berasal dari bahasa
Arab yaitu الوحي yang berarti suara, api,dan kecepatan. Di samping itu, kata
wahyu juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya, ia juga
mengandung makna pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat.Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata wahyu diartikan sebagai “petunjuk dari Allah yang
diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya”.[1]
Dalam kedudukannya sebagai petunjuk, wahyu juga dapat diartikan sebagai
pemberitahuan (informasi) dari Allah yang diberikan kepada orang-orang
pilihannya (Rasul) untuk disampaikan kepada manusia agar dijadikan sebagai
pegangan hidup. Ia mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang berguna bagi manusia
untuk perjalanan hidupnya di dunia dan akhirat.[2]
Definisi
yang lebih luas dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ia mengatakan bahwa wahyu
adalah pengetahuan yang didapat sesorang pada dirinya sendiri dengan suatu
keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah swt.[17] Di sini, Muhammad
Abduh melihat wahyu tidak hanya ditujukan kepada Nabi dan Rasul saja, tetapi
juga kepada manusia biasa.[3]
Dari
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa akal dapat dimiliki oleh setiap
manusia dan inheren dalam dirinya.Sedangkan wahyu merupakan informasi dari
Tuhan yang berada di luar diri manusia.Namun, fungsi kedua alat ini sama-sama
untuk menghasilkan pengetahuan, meskipun tingkat kebenarannya berbeda.Dalam hal
ini, kebenaran yang diperoleh dari wahyu bersifat absolut, sedangkan kebenaran
yang diperoleh melalui akal bersifat relatif.Wahyu bersumber dari Allah,
sedangkan akal bersumber dari manusia.
2. Iman
Dalam Al-Qur’an iman itu selalu
berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan
menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya.[3] Iman dari
segi lughat, kata iman berarti : pembenaran ( التَّصـْدِيـْقُ ) inilah makna
yang dimaksud dengan kata ( مُؤْمِنٌ ) dalam surat Yusuf 12, 17 yanga artinya
“Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (مُؤْمِنٍلَّـنَا ) walaupun
kami orang-orang yang benar”.
Dari ayat di atas, makna mukmin
yakni orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah ialah
pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala
apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw. yang diketahui dengan jelas sebagai
ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah.[4]
3. Kufur
Kufur
adalah kebalikan daripada iman.Dari segi lughat “kufur” artinya menutupi.Orang
yang bersikap ‘kufur’ disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari
hidayah Allah.
Firman
Allah dalam surat an-Nisa ayat 136:
(136:النساء ) بَعِيدًا ضَلاَلاًضَلَّفَقَدْاْلآخِرِ
وَالْيَوْمِ وَرُسُلِهِ وَكُتُبِهِ وَمَلآئِكَتِهِبِاللهِ يَكْفُرْ وَمَنْ
“Barangsiapa yang
kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan
hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa :136).”
Adapun
pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi Islam, yaitu : Al-Kufr
(tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi “ingkar” atau
tidak percaya, ketidakpercayaan kepada Tuhan. Kata kafir mengisyaratkan usaha
keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Tuhan, yakni sebuah kehendak untuk
mengingkari Tuhan, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu.[5]
Kufur menurut
bahasa adalah menutup. Bila orang yang menyangkal dan musyrik disebut kafir
karena orang itu menutupi dirinya dari nikmat allah dan menutup jalan untuk
mengenal Allah. Orang yang berdosa besar adalah kafir karena dia selalu
menutupi dirinya dengan dosa.[6]
B.
Pandangan Beberapa Aliran Teologi dalam Islam
tentang Iman dan Kufur
Agenda
persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam masalah iman dan kufur.
Persoalan itu dimunculkan pertamakali oleh kaum Khawarij yang mengecap kafir
sejumlah tokoh sahabat Nabi saw. Yang dipandang telah melakukan dosa besar,
yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr
bin Al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri
Rasulullah saw.[1]
1.
Aliran
Khawariij
Kaum
Khawarij adalah kaum pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisan Ali,
karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib yang menerima
tahkim / arbitrase “judge between parties
to a dispute”. Dari persoalan politik, kemudian kaum khawarij memasuki juga
persoalan teologi Islam. Menurut golongan Khawarij al-Muhakkimah, Ali,
Mu’awiyah, kedua pengantara Amr ibn al-‘Ash dan Abu Musa al-‘Asy’ari adalah
kafir.
Iman
menurut kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan
lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Menurut kaum
Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya
yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang mukmin
melakukan dosa besar mapun kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib
diperangi serta boleh di bunuh.Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta
ghonimah.
2.
Aliran
Murji’ah
Iman
menurut Murji’ah adalah terletak pada tashdiq qolbu, adapun ucapan dan
perbuatan tiadak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam qolbu.
Menurut
sub sekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan
terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang
yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak
keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.Sementara
yang dimaksud Murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa
besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dalam menetapkan kafir dan
dosa besar, kalau paham Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan
dosa besar dia sudah dianggap kafir, sedangkan paham Murji’ah lebih bersikap
positif. Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arja’a, mereka lebih
cenderung menyerahkan saja kepada Tuhan soal pelaku dosa besar.
1. Muta’zilah
Menurut
paham mu’tazilah Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan
dibuktikan dengan perbuatan konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan
iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal
perbuatannya.Konsep ini dianut pula olah Khawarij.Menurut mereka iman adalah
pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq)
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin.Tegasnya iman adalah amal. Iman
tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif
karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum
Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan
mati sebelum taubat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi
sebagai orang fasik.
2. Asy’ariyah
Menurut
aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil
al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan dan melakukan
berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’(cabang-cabang)
iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya
dan juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya,
iman secara ini merupakan sahih. Keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali
ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Kaum
Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah
memaksakan paham khalq Alquran – banyak membicarakan persoalan iman dan
kufur.Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah
dan amal.Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan
amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia
berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu
kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq.Pendapat ini
berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah tapi dekat dengan kaum
Jabariyah.Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang
mengandung ma’rifah terhadap Allah.
3. Maturidiyah
Dalam
aliran Maturidiyah terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok Samarkhand, dan
kelompok Bukhara:
a.
Maturidiyah
golongan Samarkand
Dalam
masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah
tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.Apa yang diucapkan oleh
lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui
ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ.Menurutnya, tashdiq,
seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah.Tashdiq hasil dari
ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan
wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat
Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi
Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim
meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang
sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti
bahwa Ibrahim belum beriman.Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang
telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.Jadi, menurut
Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun
demikian,ma’r ifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor
penyebab kehadiran iman.
b.
Maturidiyah
golongan Bukhara
Adapun
pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh
Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan.Lebih lanjut
dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati
tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang
dibawanya.Adapun yang dimaksud dengan tashdiq al-lisan adalah mengakui
kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya
tidak banyak berbeda dengan As y’ar iyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq
sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.[2]
C. Pandangan
Beberapa Aliran Teologi dalam Islam tentang Akal dan Wahyu
1. Aliran
Muta’zilah
Kaum Mu‘tazilah dikenal sebagai aliran yang paling banyak menggunakan
akal dalam pembahasan-pambahasan teologinya, sehingga ia dijuluki sebagai kaum
rasionalis Islam. Dalam pandangannya mengenai peranan akal dan wahyu untuk
mengetahui keempat hal tersebut di atas, tokoh-tokoh aliran Mu‘tazilah
sependapat, bahwa pokok-pokok pengetahuan (tentang Tuhan serta baik dan buruk)
dan mensyukuri nikmat adalah wajib, sebelum turunnya wahyu.[1]Hal ini berarti, bahwa
mengetahui Tuhan; mengetahui baik dan buruk; kewajiban bersyukur atas nikmat
yang diberikan Tuhan; serta mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan
meninggalkan yang buruk dapat diketahui oleh akal manusia.Sehingga, seandainya tidak
ada wahyu pun, manusia tetap dapat mengtahuinya.Dengan penalaran akalnya,
manusia bisa berkesimpulan bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib
sebelum datangnya wahyu.
Meskipun
demikian, tidaklah berarti bahwa Mu‘tazilah menafikan peranan wahyu.Wahyu
menurut mereka tetap memiliki peranan yang sangat penting dalam keempat masalah
tersebut. Dalam kaitan ini, wahyu memiliki fungsi konfirmasi dan informasi,
memperkuat apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa yang belum
diketahui oleh akal.[2] Hanya saja, menurut
Mu‘tazilah, wahyu tidak selamanya yang menentukan apa yang baik dan apa yang
buruk, karena akal, bagi Mu‘tazilah dapat mengetahui sebagian yang baik dan
sebagian dari yang buruk.Dalam artian, akal dapat mengetahui garis-garis
besarnya, sedangkan rinciannya diperoleh melalui wahyu. Misalnya, sungguhpun
akal dapat mengetahui Tuhan, akan tetapi akal tidak dapat menentukan jenis
Tuhan yang sesungguhnya, sehingga apa yang digambarkan oleh akal itu dapat saja
berubah-ubah. Demikian halnya tentang perbuatan baik dan buruk, ada saja yang
tidak dapat dijangkau oleh akal, misalnya, penyembelihan binatang untuk
keperluan tertentu.[3]
Dalam kaitannya dengan perbuatan baik dan buruk ini, kaum
Mu‘tazilah membedakan antara قبائحعقلية serta مناكيرعقلية perbuatan-perbuatan
yang tidak baik menurut akal dan قبائحشرعية Serta مناكيرشرعية
perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut wahyu. Begitu pula dibedakan antara
kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh akal واجباتعقلية serta تكليفعقل dengan
kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh wahyu واجباتشرعية serta Dalam kaitan ini, akal hanya dapat mengetahui
garis-garis besarnya saja dari kewajiban-kewajiban manusia, sedangkan
perinciannya - sebagaimana pendapat Abdul Jabbar – hanya dapat diketahui
melalui wahyu.
Selanjutnya, fungsi lain
dari wahyu, menurut al-Syahrastani adalah untuk mengingatkan manusia tentang
kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya atau memperpendek jalan untuk
mengetahui Tuhan.
Dari uraian di atas, dapat
dipahami bahwa meskipun aliran Mu‘tazilah memberikan peranan yang besar kepada
akal, namun, tetap dalam keterbatasannya sebagai akal manusia, yang hanya mampu
mengetahui baik dan buruknya sesuatu secara universal.Sedangkan kebaikan yang
bersifat lokal dan varsial hanya dapat diketahui melalui wahyu. Selanjutnya,
wahyu menurut Mu‘tazilah, di samping sangat berperan untuk mengetahui perincian
dari apa yang baik dan buruk, juga dimaksudkan sebagai dasar pembenaran bagi
Tuhan untuk memberikan ganjaran terhadap manusia di hari kemudian.
2. Aliran Asy’ariyah.
Berbeda
dengan aliran Mu‘tazilah, aliran Asy‘ariyah yang termasuk dalam golongan Ahlus
Sunnah Wal Jama‘ah memberikan peranan yang lebih besar kepada wahyu dalam
mengetahui keempat persoalan tersebut di atas.
Menurut
al-Asy‘ari, segala kewajiban (yang harus dilakukan oleh) manusia hanya dapat
diketahui melalui wahyu.Akal tidak dapat membuatu sesuatu menjadi wajib dan
tidak dapat mengetahui, bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat
(buruk) itu adalah wajib bagi manusia. Memang betul, bahwa akal dapat
mengetahui Tuhan dan perlunya berterima kasih kepadaNya. Namun, melalui
wahyulah manusia dapat mengetahui, bahwa orang yang taat kepada Tuhan akan
mendapat pahala (balasan baik) dan orang yang berbuat maksiat kepada-Nya akan mendapat
hukuman (siksa). Akal menurut Asy‘ari, tidak mampu mengetahui kewajiban
manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan, yakni untuk menetapkan mana yang wajib
dan mana yang tidak, mana perintah dan mana larangan dari Tuhan.
Dengan
demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tak akan tahu
kewajiban-kewajibannya, bahkan – kata al-Gazali – sekiranya syari‘at tidak ada,
manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak wajib pula berterima
kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diturunkan kepada manusia. Demikian
juga soal baik dan buruk, ia hanya diketahui melalui perintah dan larangan
Tuhan.
Dalam
penjelasannya, al-Syahrastani menyatakan bahwa semua kewajiban diketahui
melalui wahyu, sedangkan pengetahuan, semuanya dapat diperoleh melalui akal.Karena
itu, akal tidak dapat mewajibkan untuk berbuat baik dan meninggalkan kejahatan,
juga tidak bisa menuntut dan menentukan suatu kewajiban. Dalam kaitan ini,
al-Taftazani menjelaskan, bahwa (bagi Asy‘ariyah) sanksi hukum untuk perbuatan
orang yang berakal belum ada, sebelum datangnya syara‘. Jadi tetapnya suatu
hukum adalah atas landasan syara‘, bukan dengan akal. Akal dalam hal ini,
hanyalah merupakan alat untuk memahami khitab syara‘.Pendapat ini juga didukung
oleh al-Gazali, bahkan ia menegaskan, bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah
Allah swt., dan tidak ada sanksi hukum sebelum datangnya ketentuan syara‘.Hal
ini lebih dipertegas lagi oleh al-‘Amidi dengan mengatakan, bahwa tidak ada
hakim (pembuat hukum) kecuali Allah swt., dan tidak ada hukum kecuali yang
telah ditetapkan oleh Allah. Akal tidak punya wewenang menilai sesuatu
perbuatan apakah baik atau buruk, dan tidak ada hukum sebelum datangnya
ketentuan syara‘Tegasnya, tidak ada hukum taklif (tuntutan dan larangan)
sebelum datangnya wahyu.[4]
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa akal bagi Asya‘ariyah hanya dapat
mengetahui Tuhan.Namun, akal tidak punya otoritas (wewenang) untuk menetapkan
kewajiban.Yang menetapkan adalah al-Hakim (pembuat hukum) yakni Allah
swt.Berbeda dengan Mu‘tazilah yang menjadikan akal sebagai al-Hakim.Dengan kata
lain, Asy‘ariyah memberikan fungsi yang lebih kecil kepada akal, sedangkan
Mu‘tazilah wewenang akal lebih banyak.Dalam hal ini, akal menurut Asy‘ariyah
kemampuannya terbatas dalam hal mengetahui eksistensi Tuhan.Akal diperlukan
untuk memahami wahyu.
3. Aliran Maturidiyah
Nama
aliran ini identik dengan pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad Ibnu Mahmud
al-Maturidy.Dalam faham teologinya, al-Maturidy banyak terpengaruh oleh
pemikiran Imam Abu Hanifah, yang juga banyak menggunakan rasio dalam pandangan
keagamaannya.Meski demikian, sistem pemikiran teologinya masih dalam kategori
Ahlu Sunnah.
Dalam
kaitannya dengan pembahasan tentang akal dan wahyu ini aliran Maturidiyah
terbagi kepada dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
Bukhara.
a. Maturidiyah Samarkand
Aliran
ini dianggap oleh beberapa kalangan lebih dekat corak pemikirannya kepada
Mu‘tazilah dalam bidang teologi dari pada ke Asy‘ariyah.[5]
Dalam
pandangannya tentang otoritas akal dan wahyu, kaitannya dengan keempat masalah
pokok tersebut, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat mengetahui
eksistensi Tuhan, oleh karena Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk
menyelidiki dan merenungi alam ini. Hal ini menunjukkan bahwa akal manusia dapat
mencapai ma‘rifatullah.Oleh karen itu, akal sudah mengetahui tentang kewajiban
mengetahui Tuhan sebelum datangnya wahyu. Sehingga akan berdosa bila tidak
percaya kepada Tuhan sebelum datangnya wahyu.
\Demikian
halnya dengan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, menurut Maturidiyah
Samarkand, akal dapat mengetahui keawajiban menusia untuk berterima kasih
kepada Tuhan, meski tampa bantuan wahyu.
Begitu
pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang
terdapat di dalamnya, dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk.Dengan
demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa yang buruk adalah buruk dan berbuat
baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang
manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan.
Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian
akal.Namun, yang diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan
itu.Adapun mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, akal tidak
berdaya untuk mewajibkannya.Karena kewajiban tersebut hanya dapat diketahui
oleh wahyu.
Dari
uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa aliran Maturidiyah Samarkand
berpendapat, bahwa akal dapat mengetahui tiga dari empat persoalan pokok
tersebut, yakni: Mengetahui Tuhan; kewajiban mengetahui Tuhan (berterima kasih
kepada Tuhan); serta mengetahui baik dan buruk. Sedangkan yang terakhir,
kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat adalah wewenang
wahyu atau Tuhan.
b. Maturidiyah Bukhara
Jika
Maturidiyah Samarkand ditokohi oleh Abu Mansur al-Maturidy sendiri, maka
Maturaidiyah Bukhara, tokohnya adalah Abu Yusr Muhammad al-Bazdawy.Pemikiran
teologi dari kedua tokoh ini sedikit berbeda dan tidak terlalu
mendasar.Perbedaannya hanya pada sekitar masalah kewajiban-kewajiban manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan.
Al-Bazdawy
mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk
saja.Sedangkan yang menentukan kewajiban mengenai yang baik dan buruk itu
adalah Tuhan sendiri.Demikian halnya dengan kewajiban mengetahui Tuhan. Akal
hanya mampu mengetahui Tuhan, tetapi ia tidak dapat mengetahui dan menentukan
kewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini, yang mengetahui dan menentukannya
adalah wahyu.
Pada
perinsipnya, akal menurut paham aliran Maturidiyah Bukhara, tidak dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban, melainkan hanya dapat mengetahui sebab-sebab
dari proses kewajiban itu menjadi wajib. Oleh karenanya, mengetahui Tuhan dalam
arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi
manusia.Bahkan mereka (para alim ulama Bukhara) berpendapat bahwa sebelum
datangnya Rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah wajib dan tidak percaya kepada
Tuhan bukanlah suatu dosa.Dari sini, kelihatan bahwa Maturidiyah Bukhara lebih
mendekati faham Asy‘ariyah yang lebih mempungsikan wahyu ketimbang akal
A. Analisis Perbandingan
Merujuk
pada uraian keempat aliran teologi Islam tersebut di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa pandangan masing-masing aliran tidaklah sama antara satu
dengan yang lainnya. Masing-masing aliran memberikan porsi tersendiri dalam
menempatkan peranan akal dan wahyu.Mu‘tazilah misalnya, memberikan porsi paling
besar kepada akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya.Bagi Mu‘tazilah,
keempat masalah yang diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui
akal.Hal ini berarti, bahwa porsi kekuatan wahyu bagi Mu‘tazilah lebih kecil
dibanding dengan akal.
Merujuk
pada uraian keempat aliran teologi Islam tersebut di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa pandangan masing-masing aliran tidaklah sama antara satu
dengan yang lainnya. Masing-masing aliran memberikan porsi tersendiri dalam
menempatkan peranan akal dan wahyu.Mu‘tazilah misalnya, memberikan porsi paling
besar kepada akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya.Bagi Mu‘tazilah,
keempat masalah yang diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui
akal.Hal ini berarti, bahwa porsi kekuatan wahyu bagi Mu‘tazilah lebih kecil
dibanding dengan akal.
Sedangkan
aliran Maturidiyah yang terdiri dari dua cabang itu, menempati posisi tengah
antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah.Meski demikian, kedua cabang Maturidiyah
tersebut sedikit mempunyai perbedaan.
Maturidiyah
Samarkand lebih dekat kepada Mu‘tazilah, karena aliran ini berpendapat bahwa
dari keempat pokok masalah tersebut, tiga diantaranya dapat diketahui oleh
akal, sedangkan yang satunya hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Adapun
Maturidiyah Bukhara, dalam pandangannya terhadap akal dan wahyu, lebih
mendekati pemikiran Asy‘ariyah. Meskipun pada kenyataannya memberikan porsi
yang sama antara akal dan wahyu. Dalam hal ini, dari empat masalah pokok
tersebut, dua di antaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan dua yang
lainnya lagi hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Untuk lebih jelasnya, perbandingan ini dapat
dianalogikan ke dalam bentuk nilai (harga), yaitu, jika disusun dalam skala
prioritas, sesuai dengan tingkat penghargaannya antara akal dan wahyu, maka
akan terlihat dalam urutan sebagai berikut:
1.
Mu‘tazilah: Memberikan nilai 4 (empat) kepada akal, dan nilai
positif (0) pada wahyu.
2.
Maturidiyah Samarkand: Memberikan nilai 3 (tiga) pada akal,
dan nilai 1 (satu) pada wahyu.
3.
Maturidiyah
Bukhara: Memberikan nilai 2 (dua) pada akal dan 2 (dua) pada wahyu
4.
Sedangkan
Asy‘ariyah: Memberikan nilai 1 (satu) pada akal dan nilai 3 (tiga) pada wahyu.
Menyangkut
tentang eksistensi masyarakat terpencil dan mayarakat modern yang tidak
mempunyai kesempatan untuk mengetahui Islam secara baik, hubungannya dengan
persoalan teologi, menurut Mu‘tazilah pedomannya adalah akal pemimpinnya.Dalam
arti, mereka harus berpedoman pada aturan atau ketentuan yang telah berlaku
dalam kelompoknya.Sedangkan menurut Asy‘ariyah persoalannya diserahkan kepada
kemahakuasaan mutlak Tuhan.Namun secara teologis tidak dibebani
kewajiban.Karena menurut Asy‘ariyah, selama seseorang belum sampai dakwah
kepadanya, maka selama itu pula tidak ada taklif atasnya.
DAFTAR PURTAKA
Alkendra, Pemikiran Kalam,
Bandung: Kalam Pena, 2000.
Anwar, Roshihan dan Razak. Ilmu Kalam,
Bandung: tp., 2000.
Nurdin, Amin. SejarahPemikiran
Islam.Jakarta: BumiAksara, 2012.
Cawidu Harifuddin, dan H.M. Rasyidi. Islam
Untuk Disiplin Ilmu, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka,
1990.
Nasution, Harun. Akal danWahyuDalam Islam, Eds. I, Cet. II; Jakarta: UI-Press, 1986.
Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Yunus Mahmud. Kamus Arab-Indonesia,
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran al-Quran, 1973.
[1]al-Syahrastani, al-Milal Wa
al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), h. 45. Lihat juga,
al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah
al-Musriyah al-Ammah, t.th.), h. 416-417
[2] Nasution, Harun, Teologi
Islam (Jakarta: UI Press,
1986) h. 99.
[3]al-Syahrastani, al-Milal Wa
al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), h. 45. Lihat juga,
al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah
al-Musriyah al-Ammah, t.th.), h. 101
[4]Haq, Hamka, Dialog
Pemikiran Islam (Ujungpandang:
Yayasan AHKAM, 1995), h. 20.
[5]Nasution,
Harun. Islam Rasionalis (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996),
h. 115.
[1]Alkendra, Pemikiran Kalam (Bandung: Kalam Pena, 2000), h.
129.
[2]Harun Nasution, Teologi
Islam (Jakarta: UI Press,
1986) h. 82
[1]Departemen Pendidikan dan
Kebudyaan RI., Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 1005.
[2]Nasution, Harun. Akal dan Wahyu Dalam Islam, Ed. I (Cet.
II; Jakarta: UI-Press, 1986),
[4]Nasution,
Harun. Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986) h. 42.
[5]Ibn Rusyd dan Afrizal M.
Perdebatan Ulama dalam Teologi Islam (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006), h.
42.
[6] Abdul Razak dan Roshihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: tp., 2000), h. 29
[1]Nurdin, Amin. SejarahPemikiran Islam. (Jakarta:
BumiAksara, 2012), h. 1-6.
[2]H.M. RasyididanHarifuddinCawidu,
Islam UntukDisiplinIlmu (Cet. I; Jakarta: BulanBintang, 1988), h. 16
Hallo assalamualaikum... Saya mau bertanya kalo utk aliran kaum syi'ah dalam pemikiran tentang akal dan wahyu nya gimna ya kak, Tolong di jawab terimakasih 🙏😊
BalasHapus