MAKALAH ILMU PENGETAHUAN, DEFINISI DAN OBJEK TELAAH FILSAFAT ILMU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ilmu
pengetahuan merupakan produk kegiatan berfikir manusia untuk meningkatkan
kualitas kehidupannya dengan jalan menerapkan ilmu pengetahuan yang dipperoleh.
Karena itulah ilmu pengetahuan akan melahirkan pendekatan baru dalam berbagai
penyelidikan. Hal ini menunjukkan studi tentang keilmuan tidak akan berhenti
untuk dikaji bahkan berkembang sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Harus pula diakui bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, tidak terlepas
dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang
digolongkan sebagai filosof dimana mereka meyakini adanya hubungan antara ilmu
pengetahuan dan filsafat ilmu.
Filsafat
ilmu yang dimaksud disini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari
berfikir radikal, sistematis dan universal. Oleh karena itu, filsafat ilmu
hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi ilmu pengetahua dan
teknologi sesuai dengan tujuannya, yakni mengfokuskan diri terhadap kebahagiaan
umat manusia. Dengan demikian kemajuan ilmu pengetahuan selama satu setengah
abad terakhir ini, lebih banyak dari pada selama berabad-abad sebelumnya. Hal
ini dikarenakan semakin berkembanya zaman, semakin berkembang pula sains dan
teknologi.[1]. Fenomena ini
merupakan kebangkitan kesadaran manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan.
Dengan
demikian, pada hakikatnya upaya manusia dengan memperoleh pengetahuan hanya
didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni : apa yang ingin diketahui? Bagaimana
memperoleh ilmupengetahuan itu dan apakah nilai atau manfaat pengetahuan itu?.[2]Ketiga
persoalan ini akan menjadi kajian dalamproses
mengetahui ilmu pengetgahuan. Karena ketiga ilmu pengetahuan diperoleh tanpa memperhatikan
apa sebenarya apa yang akan diketahui, Bagaimana barusaha untuk mengetahuinya
dan bagaimana ilmu pengetahuan itu bermanfaat baik pada diri sendiri maupun
kepada orang lain.
Menyadari akan sangat luasnya uraian tentang ilmu pengetahuan
dan kaitannya uraian-uraian diatas maka peneliti mencoba menyajikannya dalam
makalah sederhana ini kiranya dapat menberikan sedikit banyaknya konstribusi
dalam khazanah ilmu pengetahuan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang sebelumnya, maka rumusan masalah pada pembahasan kali ini yaitu
bagaimana ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu serta kaitan-kaitan antara
keduanya. Adapun sub-sub rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.
Bagaimana kelahiran dan perkembangan ilmu
pengetahuan ?
2.
Bagaimana definisi dan objek telaah filsafat
ilmu ?
3.
Bagaimana cabang-cabang serta periodisasi
perkembangan filsafat ilmu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu
Pengetahuan
1.
Kelahiran, Perkembangan, dan Objek Ilmu Pengetahuan
Pada
awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan
bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau
ibu dari semua ilmu (mater scientiarum).[3]
Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, padahal
ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari
filsafat.
Meskipun
pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak
berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri
kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang
tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang
pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah
filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat
adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang
didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.[4]
Ada
hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang
memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin
dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat
sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi
perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan
ilmiah.[5]
Dalam
perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai induk dan sumber
ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami
spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan,
tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan
filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi
sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian
ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.[6]
Terdapat
prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah
keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun
fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common
sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar
pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam
hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar.
Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang
tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error
dan berdasarkan pengalaman belaka.[7]
Pembuktian
kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan
logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme.
Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai
dengan fakta.
Secara
lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan
dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi.
Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa,
di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
1. Objek
Ilmu Pengetahuan
Ilmu
adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah
pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material
dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat
harus memenuhi ke dua objek tersebut.
Objek
material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu hal
yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal
konkrit misalnya manusia,tumbuhan, batu ataupun hal-hal yang abstrak seperti
ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Objek formal adalah cara memandang, cara
meninjau yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya serta
prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu tidak
hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya
dari bidang-bidang yang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai
sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda (Mudhofir, 2005).[8]
2.
Cabang-Cabang Ilmu: Eksakta, Sosial,
Humaniora
Ilmu
berkembang dengan pesat seiring dengan penambahan jumlah cabang-cabangnya.
Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang memungkinkan
analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan objek forma dari disiplin
keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut
berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi
dasar ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat moral yang kemudian
berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the social sciences.
Ilmu-ilmu
alam (eksakta) pada akhirnya terbagi dalam dua kelompok yakni ilmu alam (the
physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu
alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta yang kemudian
bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari
substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit, dan ilmu bumi yang
mempelajari bumi). Tiap-tiap cabang-cabang pun mencipta ranting-ranting baru
seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya,
panas, kelistrikan dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik (ilmu-ilmu
murni) dan lain-lain.
Sementara
ilmu-ilmu sosial adalah sekelompok disiplin keilmuan yang mempelajari
aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Disiplin
keilmuan yang tergolong dalam ilmu sosial telah mempelajari hakekat masyarakat
dengan perspektif berbeda-beda. Karena itu terdapat keanekaragaman dalam
melihat dan mempelajarinya.
Atas
dasar itulah, sebagaimana ilmu alam, ilmu sosial juga memiliki cabang-cabang
ilmu lainnya diantaranya antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif
waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia)
ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses
pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan
ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia
berpemerintahan dan bernegara).[9]
3.
Dasar Ontologi, Epistimologi, dan
Aksiologi Ilmu
Ada
tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia.
Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek
empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan,
binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi
merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno.
Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu
diperhatikan yaitu asumsi pertama adalah suatu objek bisa dikelompokkan
berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi dan
kuantitatif asumsi. Asumsi kedua adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak
mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga
yaitu determinasi artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara
kebetulan (Supriyanto, 2003).[10]
Epistemologi
atau teori pengetahuan yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sebagian
ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada
masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan.
Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu
pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap
kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus
mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini.
Dasar
aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan
umat manusia. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling penting bagi
manusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi
terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.
Berdasarkan
aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua
arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia
dan merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan
dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
B.
Definisi dan Objek Telaah Filsafat
Ilmu
1.
Definisi/Pengertian Filsafat Ilmu
Istilah “filsafat” dalam Bahasa Indonesia
memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophy (Inggris), philosophia
(Latin), dan philosophie (Jerman,
Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia.
Istilah Yunani philein berarti “mencintai”, sedangkan philos
berarti “teman”. Selanjutnya istilah Sophos berarti “bijaksana”,
sedangkan Sophia berarti “kebijaksanaan”.[11]
Ada dua arti secara etimologik dari filsafat yang
sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philein
dan Sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana
(bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu
pada asal kataphilos dan Sophia, maka artinya adalah teman
kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan sebagai kata benda).[12]
Menurut sejarah, Phytagoras (572-497 SM) adalah
orang yang pertama kali memakai kata philosophia. Ketika beliau ditanya
apakah ia sebagai orang yang bijaksana, maka Phytagoras dengan rendah hati
menyebut dirinya sebagai philosophos, yakni pecinta kebijaksanaan (lover
of wisdom).[13] Banyak
sumber yang menegaskan bahwa Sophia mengandung arti yang lebih luas daripada
kebijaksanaan. Artinya ada berbagai macam, antara lain: (1) kerajinan, (2)
kebenaran pertama, (3) pengetahuan yang luas, (4) kebajikan intelektual, (5)
pertimbangan yang sehat, dan (6) kecerdasan dalam memutuskan hal-hal praktis.
Dengan demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah
mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excelence).[14]
Ada beberapa definisi filsafat yang telah
diklasifikasikan berdasarkan watak dan fungsinya sebagai berikut:[15]
a.
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan
terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti
informal)
b.
Filsafat adalah suatu proses kritik atau
pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi (arti
formal)
c.
Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran
keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengkombinasikan hasil
bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang
konsisten tentang alam (arti spekulatif).
Secara etimologi, term “
ilmu “ berasal dari bahasa arab yang terdiri atas tiga huruf yakni (علم ) ع
ل مmengenal, memberi tanda dan
petunjuk.[16]
Ilmu secara terminologi adalah pengetahuan secara mutlak tentang sesuatu yang
disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu dan dapat digunakan
untu merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan.[17] Pengertian ini
mengidentifikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak tersendiri menurut suatu
ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis secara sistematis. Pengetahuan ( Knowledge ) adalah ilmu yang merupakan
hasil produk yang sudah sistematis. Jadi ilmu bagian dari pengetahuan.
Istilah ilmu dalam
pengertian klasik dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab-akibat atau
asal-usul. Istilah pengetahuan dilawankan dengan pengertian opini, sedang
istilah sebab (causa) diambil dari kata Yunani “aitia”, yakni
prinsip pertama.[18]
Dua kata yang telah dipaparkan di atas digabung
sehingga membentuk istilah baru yaitu filsafat ilmu. Ada beberapa definisi
filsafat ilmu di antaranya:[19]
a.
Robert Ackermann: filsafat ilmu adalah sebuah
tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dibandingkan dengan
pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.
b.
Lewis White Beck: filsafat ilmu itu
mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba
menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
c.
Cornelius Benjamin: filsafat ilmu merupakan
cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar
ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan peranggapan-peranggapannya, serta
letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual
d.
May Brodbeck: filsafat ilmu itu sebagai analisis
yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai
landasan-landasan ilmu.
Keempat
definisi tersebut memperlihatkan ruang lingkup atau cakupan yang dibahas di
dalam fisafat ilmu, meliputi antara lain: perbandingan kritis sejarah
perkembangan ilmu, sifat dasar ilmu, metode ilmiah, dan sikap etis dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
2.
Objek Filsafat Ilmu
Objek filsafat ilmu terbagi dua, yaitu objek
material dan objek formal.Objek material atau pokok bahasan filsafat
ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun
secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Di sini terlihat jelas
perbedaan yang hakiki antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan
itu lebih bersifat umum dan didasarkan atas pengalaman sehari-hari, sedangkan
ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat khusus dengan ciri-ciri:
sistematis, metode ilmiah tertentu,serta dapat diuji kebenarannya.[20]
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat
(esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian
terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti: apa hakikat ilmu
itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi ilmu
pengetahuan itu bagi manusia? Problem-problem inilah yang dibicarakan dalam
landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis,
epistimologis, dan aksiologis.[21]
3.
Cabang-Cabang Filsafat Ilmu
Adapun
cabang-cabang filsafat ilmu juga merupakan cabang-cabang utama dari filsafat
itu sendiri, yaitu: metafisika, epistimologi, dan aksiologi.
a.
Metafisika
Metafisika
adalah filsafat pertama dan bidang filsafat yang paling utama. Metafisika
adalah cabang filsafat yang membahas tentang keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Archie J. Bahm
mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu peyelidikan pada masalah perihal
keberadaan.
Istilah
metafisika itu sendiri berasal dari kata Yunani meta ta physika yang
dapat diartikan sesuatu yang ada dibalik atau dibelakang benda-benda fisik.
Kendatipun demikian Aristoteles sendiri tidak memakai istilah metafisika,
melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat pertama ini
memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik seperti
bergerak, berubah, hidup, dan mati. Metafisika dapat didefinisikan sebagai
studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari
kenyataan atau keberadaan.
Christian
Wolff mengklasifikasikan metafisika sebagai berikut:
1)
Metafisika umum (ontologi), membicarakan tentang
hal “ada”(Being)
2)
Metafisika khusus
a)
Psikologi; membicarakan tentanng hakikat manusia
b)
Kosmologi; membicarakan tentang hakikat atau
asal usulalam semesta
c)
Theologi; membicarakan tentang hakikat
keberadaan Tuhan.
b.
Epistimologi
Bidang
kedua adalah epistimologi atau teori pengetahuan. Epistimologi berasal dari
Bahasa Yunani episteme dan logos. Epistime artinya
pengetahuan (knowledge), logos artinya teori. Dengan demikian
epistimologi secara etimologi berarti teori pengetahuan. Istilah-istilah lain
yang setara dengan epistimologi adalah:
1)
Kriteriologi, yakni cabang filsafat yang
membicarakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan.
2)
Kritik pengetahuan, yaitu pembahasan mengenai
pengetahuan secara kritis
3)
Gnosiology, yaitu perbincangan mengenai
pengetahuan yang bersifat ilahiah (gnosis)
4)
Logika material, yaitu pembahasan logis dari
segi isinya, sedangkan logika formal lebih menekankan pada segi bentuknya.
Objek
material epistimologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah
hakikat pengetahuan. Setiap filsuf menawarkan aturan yang cermat dan terbatas
untuk menguji berbagai tuntunan lain yang menjadikan seseorang dapat memiliki
pengetahuan, tetapi setiap perangkat aturan harus benar-benar mapan. Sebab
definisi tentang kepercayaan dan kebenaran merupakan problem yang
tetap dan terus-menerus ada, sehingga teori pengetahuan tetap merupakan suatu
bidang utama dalam penyelidikan filsafat.
c.
Aksiologi
Bidang
utama ketiga adalah aksiologi, yang membahas tentang masalah nilai. Istilah axiology
berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau
sesuatu yang berharga, sedangkan logos artinya akal, teori.Axiology
artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status
metafisik dari nilai. Dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini
mengedepankan pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan, atau yang lebih
dikenal dengan Summum Bonum (Kebaikan Tertinggi).
4.
Perkembangan/Periodisasi Filsafat Ilmu
Perkembangan
filsafat ilmu dapat diidentifikasi ke dalam beberapa periode berikut:
a.
Periode Pra-Yunani Kuno
Periode
ini memliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Know how dalam kehidupan sehari-hari yang
didasarkan pada pengalaman.
2)
Penegetahuan yang berdasarkan pengalaman itu
diterima sebagai fakta dengan sikap receptivemind, keterangan masih
dihubungkan dengan kekuatan magis.
3)
Kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan
alam sudajh menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi.
4)
Kemampuan menulis, berhitung, menulis kalender
yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan.
5)
Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar
peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi. Misalnya: gerhana bulan dan
matahari.
b.
Zaman Yunani Kuno
Zaman
yang dipandang sebagai zaman keemasan filsafat ini memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk
mengungkapkan ide-ide pendapatnya
2) Masyarakat pada masa ini tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi,
yang dianggap sebagai bentuk pseudo-rasional
3)
Masyarakat tidak dapat menerima pengalaman yang
didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima begitu saja),
melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang
senang menyelidiki sesuatu secara kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi
cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern.
c.
Zaman Pertengahan (Middle Age)
Era
pertengahan ini ditandai dengan tampilnya para teolog di lapangan ilmu
pengetahuan di belahan dunia Eropa. Para ilmuwan pada masa ini hamper semua
adalah teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan.
Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran
agama. Semboyang yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah Ancilla
Theologia, abdi agama. Namun di Timur terutama Negara-negara Islam justru
terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman
Pertengahan lebih berkutat pada masalah-masalah keagamaan, maka peradaban dunia
Islam melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani,
dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.
d.
Zaman Renaissance (14-17 M)
Zaman
Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari
dogma-dogma agama. Renaissance ilah zaman peralihan ketika kebudayaan abad
Tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman
Renaissance adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas, seperti pada
zaman Yunani Kuno. Pada zaman Renaissance manusia disebut sebagai animalrationale,
karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia
ingin mencapai kemajuan (progress) atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan
pada campur tangan ilahi.
e.
Zaman Modern (17-19 M)
Zaman
modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu
pengetahuan pada zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman
Renaissance, yakni permulaan abad XIV. Benua Eropa dipandang sebagai basis
perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini
menurut Slamet Iman Santoso sebenarnya mempunyai tiga sumber, yaitu:
1) Hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung
Iberia dengan Negara-negara Perancis. Para Pendeta di Perancis banyak yang
belajar di Spanyol, kemudian mereka inilah yang menyebarkan ilmu pengetahuan
yang diperolehnya itu di lembaga-lembaga pendidikan di Perancis.
2)
Perang Salib (1100-1300) yang terulang sebanyak
enam kali tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, namun juga menjadikan
para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari berbagai Negara itu menyadari
kemajuan Negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka itu
sekembalinya di Negara-negara masing-masing.
3) Pada tahun 1453 Istambul jatuh ke tangan bangsa
Turki, sehingga para pendeta atau sarjana mengungsi ke Italia tau Negara-negar
lain. Mereka ini menjadi pionir-pionir bagi perkembangan ilmu di Eropa
f.
Zaman Kontemporer (Abad 20-sekarang)
Diantara
ilmu-ilmu khusus yang dibicarakan oleh para filsuf, maka bidang Fisika
menempati kedudukan yang paling tinggi. Menurut Trout, Fisika dipandang sebagai
dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental
yang membentuk alam semesta. Ia juga menunjukkan bahwa secara historis hubungan
antara Fisika dengan filsafat terlihat dalam duacara. Pertama, diskusi
filosofi mengenai metode-metode fisika, dan dalam interaksi antara pandangan
subtansial tentang fisika (misalnya: tentang materi, kuasa, konsep ruang dan
waktu). Kedua, ajaran filsafat tradisional yang menjawab fenomena tentang
materi, kuasa, ruang dan waktu. Dengan demikian sejak semula sudah ada hubungan
yang erat antara filsafat dengan fisika.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan dalam sub-sub sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban
dari sub-sub rumusan masalah yaitu:
1.
Kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan
didahului oleh filsafat. Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu
memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan
ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap
ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu.
Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu
yang terpisah.
2.
Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan
filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya,
konsep-konsepnya, dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka
umum dari cabang pengetahuan intelektual. Sedangkan objek filsafat ilmu terbagi
dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material atau
pokok bahasan filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu
pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Objek formal
filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu
lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan.
3.
Cabang-cabang filsafat ilmu juga merupakan
cabang-cabang utama dari filsafat itu sendiri, yaitu: metafisika, epistimologi,
dan aksiologi. Perkembangan filsafat
ilmu dapat diidentifikasi ke dalam beberapa periode berikut: Periode Pra-Yunani
Kuno, Zaman Yunani Kuno, Zaman Pertengahan (Middle Age), Zaman
Renaissance (14-17 M), Zaman Modern (17-19 M), Zaman Kontemporer (Abad
20-sekarang).
B. Implikasi dan Saran
Filsafat
ilmu menjadi salah satu disiplin ilmu yang mesti dikuasai oleh para pengkaji
ilmu karena ilmu inilah yang akan memberikan gambaran utuh tentang bagaimana
ilmu pengetahuan itu serta seluk beluknya. Mudah-mudahan makalah yang peneliti
sajikan setidaknya mampu memberikan gambaran umum tentang filsafat ilmu,
terlepas dari banyaknya kekurangan dan kekhilafan dalam penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Cet II; Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11.
D. Runes.Dictionary of Philosophy. New Jersey:
Littefield Adams dan Co. Totowa, 1979.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Gie, The Liang.Dari Administrasi ke Fisafat.
Cet. III; Yogyakarta: Super Sukses, 1982.
Harold H. Titus, et. al, The Living Issues
of Fhilosophy, diter. H. M. Rasyidi dengan Judul Persoalan-Persoalan
Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
K.W. Siswomihardjo, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Sketsa
Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami
Filsafat Ilmu dalam Filsafat Ilmu. Cet. III; Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 2003.
Kartanegara, Mulyadhi.Pengantar Epistemologi Islam.
Bandung: Mizan, 2003.
Liza, Pengantar Filsafat Ilmu,
http://www.foxitsoftware.com, h. 1. Diakses tanggal 28 Maret 2015.
Munawwir, Ahmad Warson.Kamus Arab Indonesia.
edisi II; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu.
Cet. X; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
S. Supriyanto, Filsafat Ilmu. Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan Masyarakat. Surabaya: Universitas Airlangga 2003.
Sumantri, Jujun Surya.Ilmu dalam Perspektif . Cet. IX; Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Sumantri, Jujun Surya. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Cet. XIII; Jakarta: Sinar Harapan 2000.
Tafsir, Ahmad.Filsafat Ilmu. Bandung:
Rosdakarya, 2009.
[1]Harold H.
Titus, et. al, The Living Issues of Fhilosophy, diter. H. M. Rasyidi
dengan Judul Persoalan-Persoalan Filsafat( Jakarta: Bulan Bintang, 1984
), h. 254.
[2]Jujun Surya Sumantri, Ilmu dalam Perspektif
( Cet. IX;Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) h. 2.
[3]A. Bakhtiar,
Filsafat Ilmu(Cet II; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11.
[4]Mulyadhi
Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam (Bandung:Mizan, 2003), h. 6.
[5]K.W.Siswomihardjo,
Ilmu Pengetahuan; Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya
sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu dalamFilsafat Ilmu. (Cet.
III; Yogyakarta:Penerbit Liberty, 2003), h. 2.
[6]A. Bakhtiar,
Filsafat Ilmu, h. 12.
[7]S. Supriyanto,
Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat (Surabaya:
Universitas Air langga, 2003), h. 7.
[8]A.
Mudhofir, Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu(Cet.III; Yogyakarta:
Penerbit Liberty, 2005), h. 27.
[9]Jujun S Suriasumantri,
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Cet. XIII; Jakarta: Sinar
Harapan 2000), h. 33.
[10]A.
Mudhofir, Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu, h. 28.
[11]AhmadTafsir,
Filsafat Ilmu(Bandung: Rosdakarya, 2009), h. 7.
[12]Jujun S Suriasumantri,
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, h. 12.
[13]Liza,
Pengantar Filsafat Ilmu, http://www.foxitsoftware.com, h. 1. Diakses tanggal 28
Maret 2015.
[14]A. Bakhtiar,
Filsafat Ilmu, h. 8.
[15]S.
Supriyanto,Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat,
h. 13.
[16]Ahmad
Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia( edisi II; Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1997 ), h. 965.
[17]Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia( Cet. IV;
Jakarta: Balai Pustaka, 1990 ), h. 324.
[18]D.
Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Littefield Adams dan Co.
Totowa, 1979), h. 196.
[19]The
Liang Gie, Dari Administrasi ke Fisafat (Cet. III; Yogyakarta: Super
Sukses, 1982)h. 57-59
[20]Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Cet. X; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 44.
[21]Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, h. 45.
terima kasih...
BalasHapus