MAKALAH ILMU PENGETAHUAN, DEFINISI DAN OBJEK TELAAH FILSAFAT ILMU



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Ilmu pengetahuan merupakan produk kegiatan berfikir manusia untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dengan jalan menerapkan ilmu pengetahuan yang dipperoleh. Karena itulah ilmu pengetahuan akan melahirkan pendekatan baru dalam berbagai penyelidikan. Hal ini menunjukkan studi tentang keilmuan tidak akan berhenti untuk dikaji bahkan berkembang sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus pula diakui bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka meyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu.
            Filsafat ilmu yang dimaksud disini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis dan universal. Oleh karena itu, filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi ilmu pengetahua dan teknologi sesuai dengan tujuannya, yakni mengfokuskan diri terhadap kebahagiaan umat manusia. Dengan demikian kemajuan ilmu pengetahuan selama satu setengah abad terakhir ini, lebih banyak dari pada selama berabad-abad sebelumnya. Hal ini dikarenakan semakin berkembanya zaman, semakin berkembang pula sains dan teknologi.[1]. Fenomena ini merupakan kebangkitan kesadaran manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan.
            Dengan demikian, pada hakikatnya upaya manusia dengan memperoleh pengetahuan hanya didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni : apa yang ingin diketahui? Bagaimana memperoleh ilmupengetahuan itu dan apakah nilai atau manfaat pengetahuan itu?.[2]Ketiga persoalan ini akan menjadi kajian dalamproses mengetahui ilmu pengetgahuan. Karena ketiga ilmu pengetahuan diperoleh tanpa memperhatikan apa sebenarya apa yang akan diketahui, Bagaimana barusaha untuk mengetahuinya dan bagaimana ilmu pengetahuan itu bermanfaat baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain.
            Menyadari akan sangat luasnya uraian tentang ilmu pengetahuan dan kaitannya uraian-uraian diatas maka peneliti mencoba menyajikannya dalam makalah sederhana ini kiranya dapat menberikan sedikit banyaknya konstribusi dalam khazanah ilmu pengetahuan.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka rumusan masalah pada pembahasan kali ini yaitu bagaimana ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu serta kaitan-kaitan antara keduanya. Adapun sub-sub rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.      Bagaimana kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan ?
2.      Bagaimana definisi dan objek telaah filsafat ilmu ?
3.      Bagaimana cabang-cabang serta periodisasi perkembangan filsafat ilmu ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Ilmu Pengetahuan
1.    Kelahiran, Perkembangan, dan Objek Ilmu Pengetahuan
Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum).[3] Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, padahal ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.[4]
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah.[5]
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.[6]
Terdapat prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.[7]
Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta.
Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
1. Objek Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut.
Objek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu hal yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkrit misalnya manusia,tumbuhan, batu ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang yang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda (Mudhofir, 2005).[8]
2.    Cabang-Cabang Ilmu: Eksakta, Sosial, Humaniora
Ilmu berkembang dengan pesat seiring dengan penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan objek forma dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi dasar ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the social sciences.
Ilmu-ilmu alam (eksakta) pada akhirnya terbagi dalam dua kelompok yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta yang kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit, dan ilmu bumi yang mempelajari bumi). Tiap-tiap cabang-cabang pun mencipta ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik (ilmu-ilmu murni) dan lain-lain.
Sementara ilmu-ilmu sosial adalah sekelompok disiplin keilmuan yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Disiplin keilmuan yang tergolong dalam ilmu sosial telah mempelajari hakekat masyarakat dengan perspektif berbeda-beda. Karena itu terdapat keanekaragaman dalam melihat dan mempelajarinya.
Atas dasar itulah, sebagaimana ilmu alam, ilmu sosial juga memiliki cabang-cabang ilmu lainnya diantaranya antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia) ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).[9]
3.    Dasar Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Ilmu
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan yaitu asumsi pertama adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi. Asumsi kedua adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan (Supriyanto, 2003).[10]
Epistemologi atau teori pengetahuan yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini.
Dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat manusia. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.
Berdasarkan aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.

B.   Definisi dan Objek Telaah Filsafat Ilmu
1.    Definisi/Pengertian Filsafat Ilmu
Istilah “filsafat” dalam Bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), dan  philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani philein berarti “mencintai”, sedangkan philos berarti “teman”. Selanjutnya istilah Sophos berarti “bijaksana”, sedangkan Sophia berarti “kebijaksanaan”.[11]
Ada dua arti secara etimologik dari filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philein dan Sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kataphilos dan Sophia, maka artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan sebagai kata benda).[12]
Menurut sejarah, Phytagoras (572-497 SM) adalah orang yang pertama kali memakai kata philosophia. Ketika beliau ditanya apakah ia sebagai orang yang bijaksana, maka Phytagoras dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai philosophos, yakni pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom).[13] Banyak sumber yang menegaskan bahwa Sophia mengandung arti yang lebih luas daripada kebijaksanaan. Artinya ada berbagai macam, antara lain: (1) kerajinan, (2) kebenaran pertama, (3) pengetahuan yang luas, (4) kebajikan intelektual, (5) pertimbangan yang sehat, dan (6) kecerdasan dalam memutuskan hal-hal praktis. Dengan demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excelence).[14]
Ada beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak dan fungsinya sebagai berikut:[15]
a.       Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal)
b.      Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi (arti formal)
c.       Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif).
Secara etimologi, term “ ilmu “ berasal dari bahasa arab yang terdiri atas tiga huruf yakni   (علم ) ع  ل  مmengenal, memberi tanda dan petunjuk.[16] Ilmu secara terminologi adalah pengetahuan secara mutlak tentang sesuatu yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu dan dapat digunakan untu merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan.[17] Pengertian ini mengidentifikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak tersendiri menurut suatu ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis secara sistematis. Pengetahuan ( Knowledge ) adalah ilmu yang merupakan hasil produk yang sudah sistematis. Jadi ilmu bagian dari pengetahuan.
Istilah ilmu dalam pengertian klasik dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab-akibat atau asal-usul. Istilah pengetahuan dilawankan dengan pengertian opini, sedang istilah sebab (causa) diambil dari kata Yunani “aitia”, yakni prinsip pertama.[18]
Dua kata yang telah dipaparkan di atas digabung sehingga membentuk istilah baru yaitu filsafat ilmu. Ada beberapa definisi filsafat ilmu di antaranya:[19]
a.       Robert Ackermann: filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.
b.      Lewis White Beck: filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
c.       Cornelius Benjamin: filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual
d.      May Brodbeck: filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
Keempat definisi tersebut memperlihatkan ruang lingkup atau cakupan yang dibahas di dalam fisafat ilmu, meliputi antara lain: perbandingan kritis sejarah perkembangan ilmu, sifat dasar ilmu, metode ilmiah, dan sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
2.    Objek Filsafat Ilmu
Objek filsafat ilmu terbagi dua, yaitu objek material dan objek formal.Objek material atau pokok bahasan filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Di sini terlihat jelas perbedaan yang hakiki antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan itu lebih bersifat umum dan didasarkan atas pengalaman sehari-hari, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat khusus dengan ciri-ciri: sistematis, metode ilmiah tertentu,serta dapat diuji kebenarannya.[20]
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti: apa hakikat ilmu itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi ilmu pengetahuan itu bagi manusia? Problem-problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistimologis, dan aksiologis.[21]
3.    Cabang-Cabang Filsafat Ilmu
Adapun cabang-cabang filsafat ilmu juga merupakan cabang-cabang utama dari filsafat itu sendiri, yaitu: metafisika, epistimologi, dan aksiologi.
a.       Metafisika
Metafisika adalah filsafat pertama dan bidang filsafat yang paling utama. Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas tentang keberadaan (being) atau  eksistensi (existence). Archie J. Bahm mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu peyelidikan pada masalah perihal keberadaan.
Istilah metafisika itu sendiri berasal dari kata Yunani meta ta physika yang dapat diartikan sesuatu yang ada dibalik atau dibelakang benda-benda fisik. Kendatipun demikian Aristoteles sendiri tidak memakai istilah metafisika, melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik seperti bergerak, berubah, hidup, dan mati. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.
Christian Wolff mengklasifikasikan metafisika sebagai berikut:
1)      Metafisika umum (ontologi), membicarakan tentang hal “ada”(Being)
2)      Metafisika khusus
a)      Psikologi; membicarakan tentanng hakikat manusia
b)      Kosmologi; membicarakan tentang hakikat atau asal usulalam semesta
c)      Theologi; membicarakan tentang hakikat keberadaan Tuhan.
b.      Epistimologi
Bidang kedua adalah epistimologi atau teori pengetahuan. Epistimologi berasal dari Bahasa Yunani episteme dan logos. Epistime artinya pengetahuan (knowledge), logos artinya teori. Dengan demikian epistimologi secara etimologi berarti teori pengetahuan. Istilah-istilah lain yang setara dengan epistimologi adalah:
1)      Kriteriologi, yakni cabang filsafat yang membicarakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan.
2)      Kritik pengetahuan, yaitu pembahasan mengenai pengetahuan secara kritis
3)      Gnosiology, yaitu perbincangan mengenai pengetahuan yang bersifat ilahiah (gnosis)
4)      Logika material, yaitu pembahasan logis dari segi isinya, sedangkan logika formal lebih menekankan pada segi bentuknya.
Objek material epistimologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Setiap filsuf menawarkan aturan yang cermat dan terbatas untuk menguji berbagai tuntunan lain yang menjadikan seseorang dapat memiliki pengetahuan, tetapi setiap perangkat aturan harus benar-benar mapan. Sebab definisi tentang kepercayaan dan kebenaran merupakan problem yang tetap dan terus-menerus ada, sehingga teori pengetahuan tetap merupakan suatu bidang utama dalam penyelidikan filsafat.
c.       Aksiologi
Bidang utama ketiga adalah aksiologi, yang membahas tentang masalah nilai. Istilah axiology berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, sedangkan logos artinya akal, teori.Axiology artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini mengedepankan pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan Summum Bonum (Kebaikan Tertinggi).
4.    Perkembangan/Periodisasi Filsafat Ilmu
Perkembangan filsafat ilmu dapat diidentifikasi ke dalam beberapa periode berikut:
a.       Periode Pra-Yunani Kuno
Periode ini memliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada pengalaman.
2)       Penegetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap receptivemind, keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magis.
3)      Kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan alam sudajh menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi.
4)      Kemampuan menulis, berhitung, menulis kalender yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan.
5)      Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi. Misalnya: gerhana bulan dan matahari.
b.      Zaman Yunani Kuno
Zaman yang dipandang sebagai zaman keemasan filsafat ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
     1)  Pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide pendapatnya
    2)  Masyarakat pada masa ini tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi, yang dianggap sebagai bentuk pseudo-rasional
    3)  Masyarakat tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern.
c.       Zaman Pertengahan (Middle Age)
Era pertengahan ini ditandai dengan tampilnya para teolog di lapangan ilmu pengetahuan di belahan dunia Eropa. Para ilmuwan pada masa ini hamper semua adalah teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyang yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah Ancilla Theologia, abdi agama. Namun di Timur terutama Negara-negara Islam justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada masalah-masalah keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.
d.      Zaman Renaissance (14-17 M)
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance ilah zaman peralihan ketika kebudayaan abad Tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman Renaissance adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas, seperti pada zaman Yunani Kuno. Pada zaman Renaissance manusia disebut sebagai animalrationale, karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia ingin mencapai kemajuan (progress) atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan pada campur tangan ilahi.
e.       Zaman Modern (17-19 M)
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman Renaissance, yakni permulaan abad XIV. Benua Eropa dipandang sebagai basis perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini menurut Slamet Iman Santoso sebenarnya mempunyai tiga sumber, yaitu:
     1) Hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan Negara-negara Perancis. Para Pendeta di Perancis banyak yang belajar di Spanyol, kemudian mereka inilah yang menyebarkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya itu di lembaga-lembaga pendidikan di Perancis.
    2)  Perang Salib (1100-1300) yang terulang sebanyak enam kali tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari berbagai Negara itu menyadari kemajuan Negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka itu sekembalinya di Negara-negara masing-masing.
    3) Pada tahun 1453 Istambul jatuh ke tangan bangsa Turki, sehingga para pendeta atau sarjana mengungsi ke Italia tau Negara-negar lain. Mereka ini menjadi pionir-pionir bagi perkembangan ilmu di Eropa
f.        Zaman Kontemporer (Abad 20-sekarang)
Diantara ilmu-ilmu khusus yang dibicarakan oleh para filsuf, maka bidang Fisika menempati kedudukan yang paling tinggi. Menurut Trout, Fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta. Ia juga menunjukkan bahwa secara historis hubungan antara Fisika dengan filsafat terlihat dalam duacara. Pertama, diskusi filosofi mengenai metode-metode fisika, dan dalam interaksi antara pandangan subtansial tentang fisika (misalnya: tentang materi, kuasa, konsep ruang dan waktu). Kedua, ajaran filsafat tradisional yang menjawab fenomena tentang materi, kuasa, ruang dan waktu. Dengan demikian sejak semula sudah ada hubungan yang erat antara filsafat dengan fisika.



BAB III
PENUTUP
     A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam sub-sub sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari sub-sub rumusan masalah yaitu:
1.      Kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan didahului oleh filsafat. Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah.
2.      Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. Sedangkan objek filsafat ilmu terbagi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material atau pokok bahasan filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan.
3.      Cabang-cabang filsafat ilmu juga merupakan cabang-cabang utama dari filsafat itu sendiri, yaitu: metafisika, epistimologi, dan aksiologi. Perkembangan filsafat ilmu dapat diidentifikasi ke dalam beberapa periode berikut: Periode Pra-Yunani Kuno, Zaman Yunani Kuno, Zaman Pertengahan (Middle Age), Zaman Renaissance (14-17 M), Zaman Modern (17-19 M), Zaman Kontemporer (Abad 20-sekarang).
      B. Implikasi dan Saran
Filsafat ilmu menjadi salah satu disiplin ilmu yang mesti dikuasai oleh para pengkaji ilmu karena ilmu inilah yang akan memberikan gambaran utuh tentang bagaimana ilmu pengetahuan itu serta seluk beluknya. Mudah-mudahan makalah yang peneliti sajikan setidaknya mampu memberikan gambaran umum tentang filsafat ilmu, terlepas dari banyaknya kekurangan dan kekhilafan dalam penyusunan makalah ini.
 

DAFTAR PUSTAKA
A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Cet II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11.
A. Mudhofir.Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu. Cet. III; Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2005.
D. Runes.Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littefield Adams dan Co. Totowa, 1979.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Gie, The Liang.Dari Administrasi ke Fisafat. Cet. III; Yogyakarta: Super Sukses, 1982.
Harold H. Titus, et. al, The Living Issues of Fhilosophy, diter. H. M. Rasyidi dengan Judul Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
K.W. Siswomihardjo, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu dalam Filsafat Ilmu. Cet. III; Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2003.
Kartanegara, Mulyadhi.Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Liza, Pengantar Filsafat Ilmu, http://www.foxitsoftware.com, h. 1. Diakses tanggal 28 Maret 2015.
Munawwir, Ahmad Warson.Kamus Arab Indonesia. edisi II; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. X; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
S. Supriyanto, Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat. Surabaya: Universitas Airlangga 2003.
Sumantri, Jujun  Surya.Ilmu dalam Perspektif . Cet. IX;  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Sumantri, Jujun Surya. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cet. XIII; Jakarta: Sinar Harapan 2000.
Tafsir, Ahmad.Filsafat Ilmu. Bandung: Rosdakarya, 2009.



[1]Harold H. Titus, et. al, The Living Issues of Fhilosophy, diter. H. M. Rasyidi dengan Judul Persoalan-Persoalan Filsafat( Jakarta: Bulan Bintang, 1984 ), h. 254.
[2]Jujun Surya Sumantri, Ilmu dalam Perspektif ( Cet. IX;Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) h. 2.
[3]A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Cet II; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11.
[4]Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam (Bandung:Mizan, 2003), h. 6.
[5]K.W.Siswomihardjo, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu dalamFilsafat Ilmu. (Cet. III; Yogyakarta:Penerbit Liberty, 2003), h. 2.
[6]A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 12.
[7]S. Supriyanto, Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat (Surabaya: Universitas Air langga, 2003), h. 7.
[8]A. Mudhofir, Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu(Cet.III; Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2005), h. 27.
[9]Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Cet. XIII; Jakarta: Sinar Harapan 2000), h. 33.
[10]A. Mudhofir, Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu, h. 28.
[11]AhmadTafsir, Filsafat Ilmu(Bandung: Rosdakarya, 2009), h. 7.
[12]Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, h. 12.
[13]Liza, Pengantar Filsafat Ilmu, http://www.foxitsoftware.com, h. 1. Diakses tanggal 28 Maret 2015.
[14]A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 8.
[15]S. Supriyanto,Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat, h. 13.
[16]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia( edisi II; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997 ), h. 965.
[17]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia( Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990 ), h. 324.
[18]D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Littefield Adams dan Co. Totowa, 1979), h. 196.
[19]The Liang Gie, Dari Administrasi ke Fisafat (Cet. III; Yogyakarta: Super Sukses, 1982)h. 57-59
[20]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Cet. X; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 44.
[21]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, h. 45.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH EVALUASI PENDIDIKAN

KOMUNIKASI DAN KOORDINASI

MATERI PENDIDIKAN ISLAM