MAKALAH LOGIKA, PARADIGMA DAN TEORI


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat merupakan akar dari seluruh ilmu yang ada, dari hasil pemikiran-pemikiran filsafat itulah muncul teori-teori yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kelimuan dan teknologi di jagat raya ini.
Pada dasarnya suatu teori dirumuskan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang ada. Bangunan suatu teori yang merupakan abstrak dari sejumlah konsep yang disepakati  dalam definisi-definisi  akan mengalami perkembangan, dan perkembangan itu terjadi apabila teori sudah tidak relevan dan kurang berfungsi lagi untuk mengatasi masalah. Jika suatu teori ingin diakui sebagai ilmiah, teori ini haruslah cocok (compatible) dengan teori-teori lain yang telah diakui sebelumnya. Dan jika suatu teori memiliki kesimpulan prediktif yang berbeda dengan teori lainnya, salah satu di antara kedua teori tersebut salah.
Penerimaan suatu teori di dalam komunitas ilmiah, tidak berarti bahwa teori tersebut memiliki kebenaran mutlak. Setiap teori selalu sudah dipengaruhi oleh pengandaian-pengandaian dan metode dari ilmuwan yang merumuskannya. Kemampuan suatu teori untuk memprediksi apa yang akan terjadi  merupakan kriteria  bagi validitas teori tersebut. Semakin prediksi dari teori tersebut dapat dibuktikan, semakin besar pula teori tersebut akan diterima di dalam komunitas ilmiah. Ketika suatu bentuk teori telah dianggap mapan di dalam komunitas ilmiah, maka hampir semua ilmuwan dalam komunitas ilmiah tersebut menggunakan teori yang mapan itu didalam penelitian mereka. Teori yang mapan dan dominan itu disebut oleh Kuhn sebagai paradigma.
Paradigma adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami.  Berpikir sudah merupakan bakat dan bawaan manusia. Setiap manusia pasti berpikir. Dan sudah semestinya manusia untuk berpikir karena realitas tidak selalu hadir di hadapannya. Justru kalau dibandingkan dengan realitas yang hadir di hadapannya, maka yang tidak hadir jauh lebih banyak. Lantas apa hubungannya antara berpikir dan kehadiran realitas? Hubungannya sangat erat. Manusia berpikir untuk tahu realitas. Lalu, manusia tahu realitas untuk mengambil sikap dan tindakan terhadap realitas tersebut. Bisa bertindak diam karena tidak menarik, tertarik,  terhibur atau menggebu untuk menghampiri realitas yang sudah ada di hadapannya. Tentu masuk pada maksud tahu realitas adalah ada atau tidak adanya yang diduga sebagai realitas. Maksudnya, bisa jadi manusia tidak bertindak apa-apa karena yang dipradugakan sebagai realitas ternyata bukan realitas, katakan saja seperti fatamorgana yang diduga sebagai air.
            Mengingat begitu pentingnya manusia dalam berpikir dengan menggunakan logika yang sehat sehingga menghasilkan sebuah kerangka berpikir yang berdasarkan fakta dan memunculkan sebuah teori baru dalam menghadirkan suatu realita yang benar, sehingga dalam makalah ini penulis akan menyajikan beragam cara-cara berpikir yang logis untuk memperoleh teori dan paradigma baru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah pokok yaitu Bagaimana maksud dari logika, paradigma dan teori ? Dengan beberapa sub pembahasan sebagai berikut:
1.   Bagaimana pengertian logika dan perkembangannya?
2.   Bagaiman pengertian paradigma dan perkembangannya?
3.   Bagaimana pengertian konstruk teori dan perkembangannya?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1.    Mengetahui pengertian logika dan perkembangannya.
2.    Mengetahui pengertian paradigma dan perkembangannya.
3.    Mengetahui pengertian konstruk teori dan perkembangannya.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Logika dan Sejarah Perkembangannya
1.    Pengertian Logika
Logika berasal dari bahasa Yunani yaitu ”Logos”  yang berartikata” atau “Pikiran”.[1]Logos” yang diterjemhkan sebagai “Ilmu” yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran, terkait dengan ketepatan berpikir dan penalaran, yang dalam implementasinya, diitarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.[2]
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, logika berarti;  pengetahuan tentang kaidah berfikir, jalan fikiran yang masuk akal.[3] Sedangkan logika dalam istilah ilmu mantik didefinisikan sebagai berikut:
Menurut Syekh Abu Abdullah Muhammad Ahmad Muhammad ‘Ulaisyi:
“Ilmu Mantik adalah tatanan berpikir yang dapat memelihara otak dari kesalahan berpikir dengan pertolongan Allah swt.”
Menurut Syekh Al-Jurjani:
“Suatu alat yang mengatur kerja otak dalam berpikir agar terhindar dari kesalahan; selain merupakan ilmu kecermatan praktis.”
Menurut Al-Quasini:
“Ilmu yang membahas objek-objek pengetahuan tas}awur  dan tas}di>q untuk mencapai interaksi dari keduanya, atau suatu pemahaman yang dapat mendeskripsikan tas}awur  dan tas}di>q.”
Sehingga  dapat disimpulkan  bahwa logika pada dasarnya filsafat berpikir. Berpikir berarti melakukan suatu tindakan yang memiliki suatu tujuan. Jadi pengertian Logika adalah ilmu berpikir atau cara berpikir dengan berbagai tindakan yang memiliki tujuan tertentu.[4]
2.  Sejarah Perkembangan Logika
a.  Logika Masa Yunani Kuno
Logika dimulai sejak Thales (624 SM-548 SM), filosofi Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:
a.    Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
b.    Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
c.    Air jugalah uap
d.    Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta. Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan.
Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.
Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangan logika. Porohyus (232 - 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles. Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge  Porphyrius ke dalam bahasa latin dan menambahkan komentar-komentarnya. Johanes Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae. Selanjutnya, logika pada perkembangannya kemudian sempat mengalami masa dekadensi yang panjang. Logika bahkan  dianggap tidak bernilai dan dangkal sekali, hingga akhir abad ke tujuh.  
b.  Logika Abad pertengahan
Pada mulanya hingga tahun 1141, penggarapan logika hanya berkisar pada karya Aristoteles yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermenias. Karya tersebut ditambah dengan karya Phorphyrios yang bernama Eisagogen dan traktat Boethius yang mencakup masalah pembagian, masalah metode debat, silogisme kategoris hipotesis, yang biasa disebut logika lama. Sesudah tahun 1141, keempat karya Aristoteles lainnya dikenal lebih luas dan disebut sebagai logika baru. Logika lama dan logika baru kemudian disebut logika antik untuk membedakan diri dari logika terministis atau logika modern, disebut juga logika suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para filosof  Arab. Di dalam logika ini di ditunjuk pentingnya pendalaman tentang suposisi untuk menerangkan kesesatan logis, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term sebagai symbol tata bahasa dari konsep-konsep seperti yang terdapat di dalam karya Petrus Hispanus, William dari Ockham.
Thomas Aquinas mengusahakan sistimatisasi dan mengajukan komentar-komentar dalam usaha mengembangkan logika yang telah ada. Pada abad XIII-XV berkembanglah logika seperti yang sudah disebutkan di atas, disebut logika modern. Tokohnya adalah  Petrus Hispanus, Roger Bacon, W. Okcham, dan Raimon Lullus yang menemukan metode logika baru yang disebut Ars Magna, yakni semacam Al-jabar pengertian dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Abad pertengahan mencatat berbagai pemikiran yang sangat penting bagi perkembangan logika. Karya Boethius yang orisinal dibidang silogisme hipotesis, berpengaruh bagi perkembangan teori konsekuensi yang merupakan salah satu hasil terpenting bagi perkembangan logika di abad pertengahan. Kemudian dapat dicatat juga teori tentang cirri-ciri term, teori suposisi yang jika diperdalam ternyata lebih kaya dari semiotika matematika di zaman ini. Selanjutnya diskusi tentang universalia, munculnya logika hubungan, penyempurnaan teori silogisme,  penggarapan logika modal, dan lain-lain penyempurnaan terknis.
c.  Logika Dunia Modern
Logika Aristoteles, selain mengalami perkembangan yang murni, juga dilanjutkan oleh sebagian pemikir, tetapi dengan tekanan-tekanan yang berbeda. Thomas Hobbes, (1632-1704) dalam karyanya Leviatham (1651) dan John Locke (1632-1704) dalam karyanya yang bernama Essay Concerning Human Understanding (1690). Meskipun mengikuti tradisi Aristoteles, tetapi dokrin-dokrinya sangat dikuasai paham nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai suatu proses manipulasi tanda-tanda verbal dan mirip operasi-operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan di dalam pengalaman.
Logika Aristoteles yang rancangan utamanya bersifat deduktif silogistik dan menunjukkan tanda-tanda induktif berhadapan dengan dua bentuk metode pemikiran lainnya, yakni logika fisika induktif murni sebagaimana terpapar dalam karya Francis Bacon, Novum Organum (London, 1620) serta matematika deduktif murni sebagaimana terurai di dalam karya Rene Descartes, Discors The La Methode (1637).
Metode induktif untuk menemukan kebenaran, yang direncanakan Francis Bacon, didasarkan pada pengamatan empiris, analisis data yang diamati, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan verifikasi hipotesis melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut.

3.  Logika Positif,  Logika Filsafat, Logika Matematik, Logika Pragmatis dan Logika Postmodern
a.  Logika Positif
Logika Positif  disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Logika Positif berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham logika positif  ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialism, naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Logika Positif  yang paling dikenal antara lain teori tentang “makna yang dapat dibuktikan”, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Para pengkritik  Logika  Positif  berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Logika Positif sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang “makna yang dapat dibuktikan” seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Logika Positif yang terkenal, menulis buku berjudul  Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
b.  Logika Filsafat
Logika Filsafati merupakan ragam logika yang punya hubungan erat dengan pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika.
Logika filosofis adalah logika yang menggunakan cara perenungan atau pemikiran yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya tentang sesuatu yang ada atau yang mungkin ada. Karena itu dikatakan bahwa filsafat adalah hasil kreasi pemikiran maksimal manusia secara logis, sistematis, radikal dan universal tentang Tuhan, manusia dan alam semesta.[5]
            Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang menengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak gunung sambil memandang ke lembah dibawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.[6]
Bidang telaah filsafat adalah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia.
            Adapun karakteristik berpikir filsafat adalah:
a.    Sifat Menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
b.   Sifat Mendasar. Seorang yang berpikir filsafati selain menengadah ke bintang-bintang, dia juga membongkar tampat berpijaknya secara fundamental. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan juga sekaligus yang akhir.
c.    Sifat Spekulatif. Kita tidak mungkin menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Semua pengetahuan yang ada sekarang dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.[7]
c.  Logika Matematik
Logika Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan logika  dan matematika. Logika matematika mempelajari tentang matematis ilmu logika dan aplikasinya ke dalam ruang lingkup matematika. Logika matematika juga memiliki kaitan erat dengan ilmu komputer dan logika filsafat. Lebih dari itu, logika matematika kadang dianggap sebagai ilmu yang bisa memetakan logika manusia.
Logika matematika sebenarnya mengacu kepada dua ruang lingkup penelitian yang berbeda. Yang pertama adalah aplikasi teknik-teknik logika formal ke dalam matematika dan penalaran matematika. Sedangkan yang kedua, sebaliknya, adalah aplikasi dari teknik-teknik matematika ke dalam representasi dan analisis logika formal. Bisa dikatakan bahwa logika matematika menyatukan kekuatan ekspresi dari logika formal dan kekuatan deduksi dari sistem pembuktian formal (formal proof system). Penggunaan matematika dalam hubungannya dengan logika dan filsafat dimulai pada zaman Yunani kuno.
Beberapa hasil teori logika yang telah berhasil dan terkenal di kalangan para matematikawan barat di antaranya adalah Teori silogisme dari Aristoteles dan aksioma Euclid untuk geometri planar. Sekitar tahun 1700, percobaan-percobaan untuk melakukan operasi-operasi logika formal dengan memakai simbol-simbol dan aljabar juga dilakukan oleh banyak matematikawan lain, termasuk Leibniz dan Lambert. Akan tetapi, informasi mengenai hasil pekerjaan mereka sangat sedikit dan jarang sekali ditemukan, yang karena itu tidak terlalu diketahui oleh publik.
d.  Logika Pragmatis
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar  apabila teori dapat diaplikasikan.
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
e.  Logika Postmodern
Istilah postmodern, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939. Walaupun sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul The Post-Modern Condition sebagai kritikan atas karya The Grand Narrative yang dianggap sebagai dongeng khayalan hasil karya masa Modernitas.
Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berfikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berfikir yang tidak jelas akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi seperti Jameson beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami Post-modernis. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradok, sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernitas. Dari pendapat terakhir inilah akhirnya postmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernis Ressistace, Post-Modernism Reaction, Opposition Post-Modernisme dan Affirmative Post-Modernism. Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif tadi.
Zygmunt Bauman dalam karyanya yang berjudul Post-Modern Ethicsn berpendapat, kata “post” dalam istilah tadi bukan berartikan “setelah” (masa berikutnya) sehingga muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi. Menurut Bauman, postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka (insting, wahm) belaka. Asas pemikiran postmdernisme sebagaimana berbagai isme dan aliran pemikiran lain di Barat, selalu bertumpu dan berakhir pada empat pola pemikiran; epistemologi materialisme, humanisme, liberalisme dan sekularisme. Tidak terkecuali dengan postmodernisme




B. Pengertian Paradigma dan Perkembangannya
Paradigma berasal dari bahasa Yunani yaitu paradeigma  yang berarti: contoh, tasrif, model. Selai dari arti tersenut, paradigma dapat pula diartikan sebagai:
-       cara memandang sesuatu,
-       dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola, ideal
-       totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefenisikan suatu studi ilmiah konkret,
-       dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Menurut Nasim Butt (1996) suatu paradigma merupakan  teori-teori yang berhasil secara empiris yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih secara empiris.
Di dalam penelitian diartikan sebagai pola pikir yamg menunjukkan hubungan antara variable yang diteliti yang sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis, dan teknik analisis statistik yang akan digunakan.
Menurut Husain Heriyanto paradigma adalah seperangkan asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.
Para ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya membangun paradigma atas berbagai konsep, asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum dalam tatanan tertentu, menyederhanakan yang kompleks yang dapat diterima umum. Di bawah ini dikemukakan beberapa paradigma antara lain:
1. Paradigma Cartesian- Newtonian
Paradigma ini dicanangkan oleh Rene Descartes (1596-1650) dan Isaac Newton (1642-1727). Penggunaan istilah paradigma dalam frase “paradigma Cartesian-Newtonian” mengacu kepada pengertian generik yang diturunkan oleh Thomas Kuhn, yang dalam masterpiece-nya The structure of Scientific Revolutinons(1970) Kuhn menggunakan istilah paradigma untuk banyak arti, seperti matriks disipliner, model, atau pola berpikir, dan pandangan-dunia kaum ilmuwan. Namun pengertian umum yang lebih banyak dipakai paradigma berarti seperangkat asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[8]
Istilah paradigma dalam frase paradigma Cartesian-Newtonian digunakan dalam makna yang lebih luas yang tidak hanya berlaku pada komunitas ilmiah melainkan bekerja pada masyarakat modern umumnya. Paradigma dalam hal berarti  suatu pandangan-dunia (world view) atau cara pandang yang dianut secara pervasif dan terkandung di dalamnya asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis tertentu, visi realitas, dan sistem nilai.
2. Paradigma Holistik-Dialogis
Paradigma holistik-dialogis adalah merupakan paradigma alternatif karena tuntutan pandangan dunia baru  dalam upaya memahami fenomena-fenamena global secara lebih baik, tepat dan sesuai. Pandangan dunia baru itu merupakan paradigma alternatif terhadap paradigma Cartesian-Newtonian yang dualisme yang lebih menguasai kesadaran manusia modern dalam kurun waktu tiga ratus tahun terakhir.
Dengan munculnya gagasan orisinal dari Shadr al-Din al-Shirazi yang lebih popular dengan nama Mulla Shadra (1572-1641), filsuf Persia yang hidup sezaman dengan Descartes yaitu gerak trans-substansial (trans-substansial motion, harakat al-jawhariyyah). Gagasan ini dicetuskan setelah melalui analisis ontologis-metafisis yang  mendalam terhadap eksistensial dan realitas. Ontologis Mulla Shadra memiliki banyak kesamaan dengan Filsafat proses atau filsafat organisme Alfred North Whitehead (1815-1974), dapat dianggap sebagai upaya transformasi gerak trans-substansial kedalam sistim kosmologi yang dinamis. Whitehead telah mengintroduksi data-data perkembangan sains modern sebagai bagian yang integral dalam sistem filsafatnya, khususnya pandanagan kosmologisnya, sehingga lebih memperkaya pemahaman terhadap dinamika realitas.[9]
3. Positivisme dalam Paradigma IPA
Istilah Positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (1825). Positivisme berakar pada empirisme. Prinsip Filosofik tentang positifisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris Francis Bacon (sekitar 1600). Tesis positivisme adalah bahwa ilmu satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Mengembangkan pemikiran tentang ilmu universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang ethika, politik dan agama sebagai disiplin ilmu yang positivistik.[10]
Pelopor filsafat positivisme ialah August Comte (1798-1857). Dikatakan Positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita selidiki, dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, yang berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Positivisme membatasi penyelidikan studinya hanya kepada bidang gejala-gejala saja. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang tampak, dan semua gejala.[11]
Pandangan tersebut didasarkan atas hukum evolusi sejarah manusia yang menurut Comte mengalami tiga tingkatan, yaitu: Tingkatan teologis yang dikuasai oleh tahayul dan prasangka, meningkat ke tingkatan metafisik, yang sebetulnya masih abstrak; dan yang terakhir adalah tingkatan positif, yaitu tingkatan ilmu pengetahuan (science), di mana pandangan dogmatis diganti oleh pengetahuan faktual. Pada priode terakhir ini manusia membatasi dan mendasarkan pengetahuannya kepada apa yang dapat dilihat, yang dapat diukur, dan dapat dibuktikan. Comte sependapat dengan Descartes dan Newton, di mana ilmu pasti dijadikan dasar segala filsafat, karena ilmu pasti memiliki dalil-dalil yang bersifat umum.[12]
4. Phenomenologi.
\            Istilah phenomenologi telah digunakan sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, Hegel, sampai ke Peirce dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert diartikan sebagai ilusi atas pengalaman. Pada medio abad Sembilan belas arti phenomenologi menjadi sinonim dengan fakta. Sejak Edmund Husserl (1859-1938) arti phenomenology telah menjadi filsafat dan metodologi berfikir. Phenomenon bukan sekedar pengalaman lansung melainkan pengalaman yang telah menginplisitkan penafsiran dan klasifikasi. Mulai tahun 1970-an phenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai pendekatan metodologik, dan mengundang kegiatan menterjemahkan karya –karya utamanya maupun artikel-artikel yang ditulisnya, dan pendekatan phenomenologi menjadi acuan utamanya.
5. Paradigma Islam tentang Transformasi Sosial
Salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapi suatu pertanyaan pokok, yakni bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya yang sekarang menuju kepada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya. Elaborasi terhadap pertanyaan pokok semacam itu menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.
Sebagai sebuah ideologi sosial, Islam juga menderivasi teori-teori sosialnya sesuai dengan paradigmanya untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang sesuai dengan cita-citanya. Oleh karena itu jelas bahwa Islam sangat berkepentingan pada realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami, tapi diubah dan dikendalikan. Tidaklah islami misalnya, jika kaum muslim bersikap tak acuh terhadap kondisi struktural masyarakatnya, sementara tahu bahwa kondisi tersebut bersifat munkar. Sikap etis seperti ini mungkin akan menghasilkan bias dalam paradigma teori sosial Islam, sebagaimana teori-teori sosial lain juga mengidap bias normatif, ideologis dan filosofisnya sendiri.[13]
C. Pengertian Paradigma dan Perkembangannya
Kata ”teori”  secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theoria  yang berarti melihat, theoros  yang berarti pengamatan.
Adapun pengertian teori menurut terminologi memiliki beberapa rumusan yang dikemukakan oleh sejumlah ilmuan di antaranya sebagai berikut:
Kerlinger mengemukakan teori adalah suatu kumpulan variabel yang yang saling behubungan, definisi-definisi, proposisi-proposisi yang memberikan pandangan yang sistematis tentang fenomena dengan menverifikasikan relasi-relasi yang ada di antara beragam variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada.[14]
Teori menurut Sugiono adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, proposisi yang disusun secara sistematis. Secara umum teori mempunyai tiga fungsi yaitu untuk menjelaskan, meramalkan, dan pengendalian suatu gejala atau fenomena.[15]
Bangunan teori adalah abstrak dari sejumlah konsep yang disepakatkan dalam definisi-definisi. Konsep sebagai abstraksi dari banyak empiri yang telah ditemukan kesamaan umumnya dan kepilahannya dari yang lain atau abstraksi dengan cara menemukan sejumlah esensi pada suatu kasus, dan dilakukan berkelanjutan pada kasus-kasus lainnya, dapat dikonstruksikan lebih jauh menjadi proposisi atau pernyataan, dengan membuat kombinasi dari dua konsep atau lebih. Bangunan-bangunan teori tersebut antara lain:
1. Teori Ilmu
Teori ilmu memiliki dua kutub arti teori. Kutub pertama adalah teori sebagai hukum eksprimen muncul beragam, mulai dari hasil eksprimen tersebut meluas ke hasil observasi phisik seperti teori tentang panas bumi. Kutub kedua adalah hukum sebagai kalkulus formal dapat muncul beragam pula, mulai dari yang dekat dengan kutub pertama seperti teori sebagai eksplanasi phisik misalnya teori Galileo tentang peredaran planet pada porosnya, teori sinar memancar melengkung bila lewat medan gravitasi. Selanjutnya teori sebagai interpretasi terarah atas observasi seperti teori sosial statis dan sosial dinamis dari August Comte dan pada ujung kutub kedua adalah teori sebagai prediksi logik; dengan sifatnya berlaku umum dan diprediksikan berlaku kapan pun dahulu dan yang akan datang, seperti teori evolusi dari Darwin,  teori relativitas dari Einstein[16]  yang memnberikan penjelasan alternatif tentang sumber energi yang memungkinkan matahari menghasilkan energi begitu besar dalam waktu begitu lama.[17]
2. Temuan Substantif Mendasar
Temuan-temuan atas bukti empirik dapat dijadikan tesis substantif, dan diramu dengan konsep lain dapat dikonstruk menjadi teori substantif. Asumsi keberlakuan tesis substantif tersebut ada pada banyak kasus yang sama di tempat dan waktu berbeda.[18]
3. Hukum-hukum Keteraturan
a. Hukum Keteraturan Alam
Alam semesta ini memiliki keteraturan yang determinate. Ilmu pengetahuan alam biasa disebut hard science, karena segala proses alam yang berupa benda anorganik sampai organik dan hubungan satu dengan lainnya dapat dieksplanasikan dan diprediksikan relatif tepat. Menurut al-Kindi ketertiban alam ini, baik susunan, interaksi, relasi bagian dengan bagiannya, ketundukan suatu bagian pada bagian lainnya, dan kekukuhan strukturnya di atas landasan prinsip yang terbaik bagi proses penyatuan, perpisahan, dan muncul serta lenyapnya sesuatu dalam alam, mengindikasikan adanya pengaturan yang mantap dan kebijakan yang kukuh. Tentu ada Pengatur Yang Maha Bijaksana dibalik semua ini, yaitu Allah.[19]
b. Hukum Keteraturan Hidup Manusia
Hidup manusia itu memiliki keragaman sangat luas. Ada yang lebih suka kerja keras dan yang lain menyukai hidup santai, ada yang tampil ulet meski selalu gagal, yang lain mudah putus asa, ada yang berteguh pada prinsip dan sukses dalam hidup, yang lain berteguh pada prinsip, dan tergilas habis. Kehidupan manusia mengikuti sunnatullah, mengikuti hukum yang sifatnya indeterminate.
c. Hukum Keteraturan Rekayasa Teknologi
Keteraturan alam yang determinate, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keteraturan substantif dan ketraturan esensial. Seperti Pohon mangga golek akan berbuah mangga golek. Ketika ilmuwan berupaya menemukan esensi rasa enak pada mangga, menemukan esensi buah banyak pada mangga, dan menemukan esensi pohon mangga yang tahan penyakit, ilmuwan berupaya membuat rekayasa agar dapat diciptakan pohon mangga baru manalagi yang enak buahnya, banyak buahnya, dan pohonnya tahan penyakit, di sini nampak bahwa ilmuwan mencoba menemukan keteraturan esensial pada benda organik. Produk teknologi merupakan produk kombinasi antara pemahaman ilmuwan tentang keteraturan esensial yang determinate dengan upaya rekayasa kreatif manusia mengikuti hukum keteraturan sunnatullah.[20]
4. Konstruk Teori Model Korespondensi
Konstruk berfikir korespondensi adalah bahwa kebenaran sesuatu dibuktikan dengan cara menemukan relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan korespondensi tersebut beragam mulai dari korelasi, kausal, kontributif, sampai mutual. Konstruk berfikir statistik kuantitatif dan juga pendekatan positifistik menggunakan cara ini.[21] (Menurut Bertand Russel suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu. Misalnya, jika ada seseorang yang mengatakan “ Ibu kota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab pernyataan itu sesuai dengan fakta objektif.[22]
5. Konstruk Teori Model Koherensi
Konstruk teori model koherensi merentang dari koheren dalam makna rasional sampai dalam makna moral. Konstruk koheren dalam makna rasional adalah kesesuaian sesuatu dengan skema rasional tertentu, termasuk juga kesesuaian sesuatu dengan kebenaran obyektif rasional.
Aristoteles dalam teori koherensi memberikan standar kebenaran dengan cara deduktif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada kriteria koherensi yang dapat diungkap bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap benar bahwa “semua manusia pasti mati” adalah pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si fulan adalah seorang manusia dan si Fulan pasti mati” adalah benar pula. Sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.[23]
Konstruk berfikir koherensi kedua adalah yang dilandaskan kepada kebenaran moral dan nilai. Sesuatu dipandang sebagai benar bila sesuai dengan moral tertentu. Moral dalam maknanya yang luas menyangkut masalah: right or wrong, truth or false, justice or unfair, human or inhuman dan lainnya. Hal ini terkait dengan kehidupan budi yang terjelma dalam proses penilaian itu merupakan ciri manusia yang terpenting dalam kehidupan individu, masyarakat dan kebudayaan, sebagai makhluk yang berkelakuan.
6. Konstruk Teori Model Pragmatis
Konstruk teori model Prgmatis berupaya mengkonstruk teorinya dari kosep-konsep, pernyataan-pernyataan yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak; Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau implikasinya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Kaum pragmatis berpaling pada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggap fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Agama bisa dianggap benar karena memberikan ketenangan pada jiwa dan ketertiban dalam masyarakat. Para ilmuan yang menganut azas ini tetap menggunakan suatu teori tertentu selama teori itu mendatangkan manfaat.[24]
7. Konstruk Teori Iluminasi
Teori Iluminasi menurut Mehdi Ha’iri Yazdi adalah pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior. Artinya hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobjek tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.[25]




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Logika adalah cabang filsafat yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran.  kita. Jadi logika pada dasarnya filsafat berpikir. Berpikir berarti melakukan suatu tindakan yang memiliki suatu tujuan. Jadi pengertian Logika adalah ilmu berpikir atau cara berpikir dengan berbagai tindakan yang memiliki tujuan tertentu.
2.      Paradigma adalah cara pandang atau kerangka berfikir yang mempu menjadi wacana temuan ilmiah dan dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah dan atau masyarakat. Sikap para ilmuwan terhadap  paradigma yang berlaku dapat saja berubah jika dalam perjalanan kegiatan ilmiahnya atau penelitiannya terdapat anomali. Dengan demikian dapat menyebabkan perubahan paradigma karena adanya anomali itu, selanjutnya menyebabkan sikap para  ilmuwan terhadap paradigma yang berlaku berubah, oleh karena itu sifat penelitian mereka juga berubah. Hal itu membuat para ilmuwan berusaha untuk menciptakan paradigma baru, dalam rangka memberikan penyelesaian terhadap anomali yang ditemukan. Jika paradigma baru itu diterima  oleh komunitas ilmiah maka paradigma terdahulu ditolak dan ditinggalkan. Paradigma yang baru  akan diterima sebagai pengganti paradigma yang lama.
3.      Teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Suatu teori akan mengalami perkembangan apabila teori tersebut sudah tidak relevan dan kurang berfungsi lagi untuk mengatasi masalah.



DAFTAR PUSTAKA
A. Wiramihardja, Sutardjo, Psi.. Pengantar Filsafat. Bandung: PT. Refika Aditama, 2007.

Bakhtiar, Amsal,  Filsafat Agama 1, Jil.I. Cet. I; Pamulang Timur, Ciputat: Lolos Wacana Ilmu, 1997.
Bakti Nasution,  Hasan. Filsafat Umum. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1975.

Hasan Alwi, et al.. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III; Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Kuntowijoyo,   Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998.
Mustikasari. Logika Informatika. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu, Positivisme, PostPositivisme, dan PostModernisme, Edisi II; Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.

Surajiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005.
_______, dkk. Dasar-dasar Logika. Cet. VI; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012.
Sambas, Syukriadi. Mantik: Kaidah Berfikir Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996
Salam, Burhanuddin. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Cet. I; Jakarta: PT. Reneka Cipta. 1997.

Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metologi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007.

S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cet.III; Bandung: Alfabeta, 2007.
Wattimena, Reza  A.A, Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar,  Jakarta: PT. Grasindo, 2008.





























[1]Sutardjo A. Wiramihardja, Psi., Pengantar Filsafat (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 29
[2]Mustikasari, Logika Informatika (Makassar: AlauddinUniversity Press, 2012), h. 1.
[3]Hasan Alwi, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. III; Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 2005),  h. 680.
[4]Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1975), h. 137-138
[5]Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum (cet.I., Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),h. 28

[6]Soetriono & SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metologi Penelitian (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007), h. 21
[7]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 21-22
[8]Husain Heriyanto,  Paradigma Holistik Dialog Filsafat, Sains,dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, (Cet; Jakarta Selatan: Teraju, 2003), h. 28.
[9]Husain Heriyanto,  Paradigma Holistik Dialog Filsafat, Sains,dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead,  h. 154-155
[10]H. Noeng Muhadjir,  Filsafat Ilmu: Positivisme,Post positivism, dan Post Modernisme, Ed. II. (Cet. I; Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001). h. 69.
[11]H. Burhanuddin Salam, Logika Material, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 193-194.
[12] H. Burhanuddin Salam, Logika Material, h.195.
[13]Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998), h. 337.
[14]Reza A. A Wattimena,  Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 257.
[15]Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, (Cet. III; Bandung: Alfabeta, 2007), h. 173.
[16]H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme,Post positivism, dan Post Modernisme, h.39-40.
[17]Reza A. A Wattimena,  Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, h. 193.
[18]H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme,Post positivism, dan Post Modernisme, h. 8-9.
[19]Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, ( Jakarta: Erlangga, 2006), h. 16-17.
[20]H. Noeng Muhadjir,  Filsafat Ilmu: Positivisme,Post positivism, dan Post Modernisme, h. 43.
[21]H. Noeng Muhadjir,  Filsafat Ilmu: Positivisme,Post positivism, dan Post Modernisme, h. 52.
[22]Amsal Bakhtiar,  Filsafat Agama 1, Jil. I. ( Cet. I; Pamulang Timur, Ciputat: Lolos Wacana Ilmu, 1997), h. 33.
[23]Amsal Bakhtiar,  Filsafat Agama 1, h. 32.
[24]Amsal Bakhtiar,  Filsafat Agama 1, h. 34.
[25]Amsal Bakhtiar,  Filsafat Agama 1, h. 35-36.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH EVALUASI PENDIDIKAN

KOMUNIKASI DAN KOORDINASI

MATERI PENDIDIKAN ISLAM