MAKALAH LOGIKA, PARADIGMA DAN TEORI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat merupakan akar dari seluruh
ilmu yang ada, dari hasil pemikiran-pemikiran filsafat itulah muncul
teori-teori yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kelimuan dan teknologi di
jagat raya ini.
Pada dasarnya
suatu teori dirumuskan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang ada.
Bangunan suatu teori yang merupakan abstrak dari sejumlah konsep yang disepakati
dalam definisi-definisi akan
mengalami perkembangan, dan perkembangan itu terjadi apabila teori sudah tidak
relevan dan kurang berfungsi lagi untuk mengatasi masalah. Jika suatu teori
ingin diakui sebagai ilmiah, teori ini haruslah cocok (compatible) dengan teori-teori lain yang telah diakui sebelumnya.
Dan jika suatu teori memiliki kesimpulan prediktif yang berbeda dengan teori
lainnya, salah satu di antara kedua teori tersebut salah.
Penerimaan
suatu teori di dalam komunitas ilmiah, tidak berarti bahwa teori tersebut
memiliki kebenaran mutlak. Setiap teori selalu sudah dipengaruhi oleh
pengandaian-pengandaian dan metode dari ilmuwan yang merumuskannya. Kemampuan
suatu teori untuk memprediksi apa yang akan terjadi merupakan
kriteria bagi validitas teori tersebut. Semakin prediksi dari teori
tersebut dapat dibuktikan, semakin besar pula teori tersebut akan diterima di
dalam komunitas ilmiah. Ketika suatu bentuk teori telah dianggap mapan di
dalam komunitas ilmiah, maka hampir semua ilmuwan dalam komunitas ilmiah
tersebut menggunakan teori yang mapan itu didalam penelitian mereka. Teori yang
mapan dan dominan itu disebut oleh Kuhn sebagai paradigma.
Paradigma
adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau
gejala diinterpretasi dan dipahami. Berpikir sudah merupakan bakat dan bawaan
manusia. Setiap manusia pasti berpikir. Dan sudah semestinya manusia untuk
berpikir karena realitas tidak selalu hadir di hadapannya. Justru kalau
dibandingkan dengan realitas yang hadir di hadapannya, maka yang tidak hadir
jauh lebih banyak. Lantas apa hubungannya antara berpikir dan kehadiran realitas?
Hubungannya sangat erat. Manusia berpikir untuk tahu realitas. Lalu, manusia
tahu realitas untuk mengambil sikap dan tindakan terhadap realitas tersebut.
Bisa bertindak diam karena tidak menarik, tertarik, terhibur atau menggebu untuk menghampiri realitas
yang sudah ada di hadapannya. Tentu masuk pada maksud tahu realitas adalah ada
atau tidak adanya yang diduga sebagai realitas. Maksudnya, bisa jadi manusia
tidak bertindak apa-apa karena yang dipradugakan sebagai realitas ternyata
bukan realitas, katakan saja seperti fatamorgana yang diduga sebagai air.
Mengingat
begitu pentingnya manusia dalam berpikir dengan menggunakan logika yang sehat
sehingga menghasilkan sebuah kerangka berpikir yang berdasarkan fakta dan
memunculkan sebuah teori baru dalam menghadirkan suatu realita yang benar,
sehingga dalam makalah ini penulis akan menyajikan beragam cara-cara berpikir
yang logis untuk memperoleh teori dan paradigma baru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis merumuskan masalah pokok yaitu Bagaimana maksud dari logika, paradigma
dan teori ? Dengan beberapa sub pembahasan sebagai berikut:
1.
Bagaimana pengertian logika dan perkembangannya?
2.
Bagaiman pengertian paradigma dan perkembangannya?
3.
Bagaimana pengertian konstruk teori dan perkembangannya?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini
yaitu:
1.
Mengetahui pengertian logika dan perkembangannya.
2.
Mengetahui pengertian paradigma dan perkembangannya.
3.
Mengetahui pengertian konstruk teori dan perkembangannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Logika dan Sejarah
Perkembangannya
1.
Pengertian Logika
Logika berasal dari bahasa Yunani
yaitu ”Logos” yang berarti “kata” atau
“Pikiran”.[1]
“Logos” yang diterjemhkan sebagai
“Ilmu” yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran, terkait dengan ketepatan
berpikir dan penalaran, yang dalam implementasinya, diitarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa.[2]
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, logika berarti;
pengetahuan tentang kaidah berfikir, jalan fikiran yang masuk akal.[3] Sedangkan logika
dalam istilah ilmu mantik didefinisikan sebagai berikut:
Menurut
Syekh Abu Abdullah Muhammad Ahmad Muhammad ‘Ulaisyi:
“Ilmu Mantik adalah tatanan
berpikir yang dapat memelihara otak dari kesalahan berpikir dengan pertolongan
Allah swt.”
Menurut
Syekh Al-Jurjani:
“Suatu alat yang mengatur kerja
otak dalam berpikir agar terhindar dari kesalahan; selain merupakan ilmu
kecermatan praktis.”
Menurut
Al-Quasini:
“Ilmu
yang membahas objek-objek pengetahuan tas}awur
dan tas}di>q untuk mencapai interaksi dari keduanya, atau suatu
pemahaman yang dapat mendeskripsikan tas}awur
dan tas}di>q.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa logika pada dasarnya filsafat berpikir.
Berpikir berarti melakukan suatu tindakan yang memiliki suatu tujuan. Jadi
pengertian Logika adalah ilmu berpikir atau cara berpikir dengan berbagai
tindakan yang memiliki tujuan tertentu.[4]
2. Sejarah Perkembangan Logika
a. Logika Masa Yunani Kuno
Logika
dimulai sejak Thales (624 SM-548 SM), filosofi Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita
isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam
semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah
arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu
Thales telah mengenalkan logika induktif.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu,
yang kemudian disebut logica scientica.
Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa
air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam
semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:
a.
Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa
air tumbuhan mati)
b.
Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
c.
Air jugalah uap
d.
Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air
adalah arkhe alam semesta. Sejak saat Thales sang filsuf
mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan.
Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti
berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika
yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang
masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.
Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid
Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum,
melanjutkan pengembangan logika. Porohyus (232
- 305) membuat suatu pengantar (eisagoge)
pada Categoriae, salah satu buku
Aristoteles. Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam
bahasa latin dan menambahkan komentar-komentarnya. Johanes Damascenus (674 -
749) menerbitkan Fons Scienteae. Selanjutnya,
logika pada perkembangannya kemudian sempat mengalami masa dekadensi yang
panjang. Logika bahkan dianggap tidak bernilai
dan dangkal sekali, hingga akhir abad ke tujuh.
b. Logika Abad pertengahan
Pada mulanya hingga tahun 1141, penggarapan
logika hanya berkisar pada karya Aristoteles yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermenias.
Karya tersebut ditambah dengan karya Phorphyrios yang bernama Eisagogen dan
traktat Boethius yang mencakup masalah pembagian, masalah metode debat,
silogisme kategoris hipotesis, yang biasa disebut logika lama. Sesudah tahun 1141, keempat karya Aristoteles lainnya
dikenal lebih luas dan disebut sebagai logika baru. Logika lama dan logika baru kemudian disebut logika antik
untuk membedakan diri dari logika terministis atau logika modern, disebut juga
logika suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para filosof Arab. Di
dalam logika ini di ditunjuk pentingnya pendalaman tentang suposisi untuk
menerangkan kesesatan logis, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term sebagai
symbol tata bahasa dari konsep-konsep seperti yang terdapat di dalam karya
Petrus Hispanus, William dari Ockham.
Thomas Aquinas mengusahakan sistimatisasi dan mengajukan
komentar-komentar dalam usaha mengembangkan logika yang telah ada. Pada abad
XIII-XV berkembanglah logika seperti yang sudah disebutkan di atas, disebut
logika modern. Tokohnya adalah Petrus Hispanus, Roger Bacon, W. Okcham, dan Raimon Lullus yang menemukan metode logika
baru yang disebut Ars
Magna, yakni semacam Al-jabar pengertian dengan tujuan untuk
membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Abad
pertengahan mencatat berbagai pemikiran yang sangat penting bagi perkembangan
logika. Karya Boethius yang orisinal dibidang silogisme hipotesis, berpengaruh
bagi perkembangan teori konsekuensi yang merupakan salah satu hasil terpenting
bagi perkembangan logika di abad pertengahan. Kemudian dapat dicatat juga teori
tentang cirri-ciri term, teori suposisi yang jika diperdalam ternyata lebih
kaya dari semiotika matematika di zaman ini. Selanjutnya diskusi tentang
universalia, munculnya logika hubungan, penyempurnaan teori silogisme, penggarapan logika modal, dan lain-lain penyempurnaan
terknis.
c. Logika Dunia Modern
Logika Aristoteles, selain mengalami
perkembangan yang murni, juga dilanjutkan oleh sebagian pemikir, tetapi dengan
tekanan-tekanan yang berbeda. Thomas Hobbes,
(1632-1704) dalam karyanya Leviatham
(1651) dan John Locke (1632-1704)
dalam karyanya yang bernama Essay
Concerning Human Understanding (1690). Meskipun mengikuti tradisi Aristoteles, tetapi dokrin-dokrinya sangat
dikuasai paham nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai suatu proses manipulasi
tanda-tanda verbal dan mirip operasi-operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini
memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan di dalam pengalaman.
Logika Aristoteles yang rancangan utamanya
bersifat deduktif silogistik dan menunjukkan tanda-tanda induktif berhadapan
dengan dua bentuk metode pemikiran lainnya, yakni logika fisika induktif murni
sebagaimana terpapar dalam karya Francis
Bacon, Novum Organum
(London, 1620) serta matematika deduktif murni sebagaimana terurai di dalam
karya Rene Descartes, Discors
The La Methode (1637).
Metode induktif untuk menemukan kebenaran, yang
direncanakan Francis Bacon,
didasarkan pada pengamatan empiris, analisis data yang diamati, penyimpulan
yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan verifikasi hipotesis
melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut.
3. Logika Positif, Logika Filsafat, Logika Matematik, Logika
Pragmatis dan Logika Postmodern
a. Logika Positif
Logika
Positif disebut juga sebagai empirisme
logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme adalah sebuah filsafat yang
berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Logika Positif
berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah
sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh
yang menganut paham logika positif ini
antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath,
dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok
Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan
neo-positivis ini.
Secara
umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan
mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika.
Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi
logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung
teori-teori paham realisme, materialism, naturalisme
filsafat dan empirisme.
Salah
satu teori Logika Positif yang paling
dikenal antara lain teori tentang “makna yang dapat dibuktikan”, yang
menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan
hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi
dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan
secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah
keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam
bidang metafisika.
Para
pengkritik Logika Positif
berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Logika Positif
sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang
teori tentang “makna yang dapat dibuktikan” seperti yang dinyatakan di atas itu
sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah
dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam
bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau
dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna
hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang
dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi
negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal
positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan
tidak mungkin dibuktikan.
Karl
Popper, salah satu kritikus Logika Positif yang terkenal, menulis buku
berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada
tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat
pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang
dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper
bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak,
namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang
bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak
bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa,
karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu
akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu
tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai
ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat
dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
b. Logika
Filsafat
Logika
Filsafati merupakan ragam logika yang punya hubungan erat dengan pembahasan
dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti
dengan metafisika.
Logika
filosofis adalah logika yang menggunakan cara perenungan atau pemikiran yang
sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya tentang sesuatu yang ada atau yang mungkin
ada. Karena itu dikatakan bahwa filsafat adalah hasil kreasi pemikiran maksimal
manusia secara logis, sistematis, radikal dan universal tentang Tuhan, manusia
dan alam semesta.[5]
Seorang yang berfilsafat dapat
diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang menengadah ke bintang-bintang.
Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang
yang berdiri di puncak gunung sambil memandang ke lembah dibawahnya. Dia ingin
menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.[6]
Bidang
telaah filsafat adalah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh
manusia.
Adapun karakteristik berpikir
filsafat adalah:
a. Sifat
Menyeluruh.
Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu
sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang
lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia
ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
b.
Sifat Mendasar.
Seorang yang berpikir filsafati selain menengadah ke bintang-bintang, dia juga
membongkar tampat berpijaknya secara fundamental. Dia tidak lagi percaya begitu
saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses
penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri
benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu
melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik,
yang awal dan juga sekaligus yang akhir.
c.
Sifat Spekulatif. Kita
tidak mungkin menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak
yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Semua
pengetahuan yang ada sekarang dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian
spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang
merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria
tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang
di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka
kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa
yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.[7]
c. Logika Matematik
Logika
Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan logika dan matematika. Logika matematika mempelajari
tentang matematis ilmu logika dan aplikasinya ke dalam ruang lingkup matematika.
Logika matematika juga memiliki kaitan erat dengan ilmu komputer dan logika
filsafat. Lebih dari itu, logika matematika kadang dianggap sebagai ilmu yang
bisa memetakan logika manusia.
Logika
matematika sebenarnya mengacu kepada dua ruang lingkup penelitian yang berbeda.
Yang pertama adalah aplikasi teknik-teknik logika formal ke dalam matematika
dan penalaran matematika. Sedangkan yang kedua, sebaliknya, adalah aplikasi
dari teknik-teknik matematika ke dalam representasi dan analisis logika formal.
Bisa dikatakan bahwa logika matematika menyatukan kekuatan ekspresi dari logika
formal dan kekuatan deduksi dari sistem pembuktian formal (formal proof
system). Penggunaan matematika dalam hubungannya dengan logika dan filsafat
dimulai pada zaman Yunani kuno.
Beberapa
hasil teori logika yang telah berhasil dan terkenal di kalangan para
matematikawan barat di antaranya adalah Teori silogisme dari
Aristoteles dan aksioma Euclid untuk geometri planar. Sekitar tahun
1700, percobaan-percobaan untuk melakukan operasi-operasi logika formal dengan
memakai simbol-simbol dan aljabar juga dilakukan oleh banyak matematikawan
lain, termasuk Leibniz dan Lambert. Akan tetapi, informasi mengenai hasil
pekerjaan mereka sangat sedikit dan jarang sekali ditemukan, yang karena itu
tidak terlalu diketahui oleh publik.
d. Logika
Pragmatis
Istilah
pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau
tindakan. “isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu
aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang
menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya adalah
“faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme
benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah
benar apabila teori dapat diaplikasikan.
Pragmatisme
adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan,
dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya
ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan
tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai
sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal
abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce
(1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John
Dewey (1859-1952).
e. Logika
Postmodern
Istilah
postmodern, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939. Walaupun
sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah
tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960,
untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga
banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J Francois
Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut.
Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul The Post-Modern
Condition sebagai kritikan atas karya The Grand Narrative yang
dianggap sebagai dongeng khayalan hasil karya masa Modernitas.
Ketidakjelasan
definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi penyebab munculnya
kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan
berdampak besar dalam menentukan kebenaran berfikir dan menjadi ambigu. Sedang
kekacauan akibat konsep berfikir yang tidak jelas akan membingungkan pelaku
dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Banyak
versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan,
sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari
modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern.
Sedang sebagian lagi seperti Jameson beranggapan, postmodernisme adalah
pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner
dalam Theories of Modernity and Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa
jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami
Post-modernis. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan
postmodernisme bahkan terjadi paradok, sedang yang lain menganggap bahwa
postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang mana tidak mungkin
kita dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernitas. Dari
pendapat terakhir inilah akhirnya postmodernisme dibagi menjadi beberapa
bagian, antara lain: Post-Modernis Ressistace, Post-Modernism Reaction,
Opposition Post-Modernisme dan Affirmative Post-Modernism. Akibat dari
perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang ingin
menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif tadi.
Zygmunt
Bauman dalam karyanya yang berjudul Post-Modern Ethicsn berpendapat, kata
“post” dalam istilah tadi bukan berartikan “setelah” (masa berikutnya) sehingga
muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi. Menurut Bauman,
postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman
modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari
kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari
prasangka (insting, wahm) belaka. Asas pemikiran postmdernisme sebagaimana
berbagai isme dan aliran pemikiran lain di Barat, selalu bertumpu dan berakhir
pada empat pola pemikiran; epistemologi materialisme, humanisme, liberalisme
dan sekularisme. Tidak terkecuali dengan postmodernisme
B. Pengertian Paradigma dan Perkembangannya
Paradigma
berasal dari bahasa Yunani yaitu paradeigma
yang berarti: contoh, tasrif, model.
Selai dari arti tersenut, paradigma dapat pula diartikan sebagai:
-
cara
memandang sesuatu,
-
dalam ilmu
pengetahuan berarti model, pola, ideal
-
totalitas
premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefenisikan
suatu studi ilmiah konkret,
-
dasar untuk
menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Menurut Nasim Butt (1996) suatu
paradigma merupakan teori-teori yang
berhasil secara empiris yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam
sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang
lebih secara empiris.
Di dalam penelitian diartikan
sebagai pola pikir yamg menunjukkan hubungan antara variable yang diteliti yang
sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab
melalui penelitian, teori yang digunakan untuk merumuskan hipotesis, jenis dan
jumlah hipotesis, dan teknik analisis statistik yang akan digunakan.
Menurut Husain Heriyanto
paradigma adalah seperangkan asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum serta
teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu
komunitas ilmiah.
Para
ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya membangun paradigma atas berbagai konsep,
asumsi-asumsi teoritis umum dan hukum-hukum dalam tatanan tertentu,
menyederhanakan yang kompleks yang dapat diterima umum. Di bawah ini
dikemukakan beberapa paradigma antara lain:
1. Paradigma
Cartesian- Newtonian
Paradigma
ini dicanangkan oleh Rene Descartes (1596-1650) dan Isaac Newton (1642-1727).
Penggunaan istilah paradigma dalam frase “paradigma Cartesian-Newtonian”
mengacu kepada pengertian generik yang diturunkan oleh Thomas Kuhn, yang
dalam masterpiece-nya The structure of Scientific Revolutinons(1970)
Kuhn menggunakan istilah paradigma untuk banyak arti, seperti matriks
disipliner, model, atau pola berpikir, dan pandangan-dunia kaum ilmuwan. Namun
pengertian umum yang lebih banyak dipakai paradigma berarti seperangkat asumsi-asumsi
teoritis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara
bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[8]
Istilah
paradigma dalam frase paradigma Cartesian-Newtonian digunakan dalam makna yang
lebih luas yang tidak hanya berlaku pada komunitas ilmiah melainkan bekerja
pada masyarakat modern umumnya. Paradigma dalam hal berarti suatu
pandangan-dunia (world view) atau cara pandang yang dianut secara pervasif dan
terkandung di dalamnya asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis tertentu, visi
realitas, dan sistem nilai.
2. Paradigma
Holistik-Dialogis
Paradigma
holistik-dialogis adalah merupakan paradigma alternatif karena tuntutan
pandangan dunia baru dalam upaya memahami fenomena-fenamena global secara
lebih baik, tepat dan sesuai. Pandangan dunia baru itu merupakan paradigma
alternatif terhadap paradigma Cartesian-Newtonian yang dualisme yang lebih
menguasai kesadaran manusia modern dalam kurun waktu tiga ratus tahun terakhir.
Dengan
munculnya gagasan orisinal dari Shadr al-Din al-Shirazi yang lebih popular
dengan nama Mulla Shadra (1572-1641), filsuf Persia yang hidup sezaman dengan
Descartes yaitu gerak trans-substansial (trans-substansial motion, harakat
al-jawhariyyah). Gagasan ini dicetuskan setelah melalui analisis
ontologis-metafisis yang mendalam terhadap eksistensial dan realitas.
Ontologis Mulla Shadra memiliki banyak kesamaan dengan Filsafat proses atau
filsafat organisme Alfred North Whitehead (1815-1974), dapat dianggap sebagai
upaya transformasi gerak trans-substansial kedalam sistim kosmologi yang
dinamis. Whitehead telah mengintroduksi data-data perkembangan sains modern
sebagai bagian yang integral dalam sistem filsafatnya, khususnya pandanagan
kosmologisnya, sehingga lebih memperkaya pemahaman terhadap dinamika realitas.[9]
3. Positivisme
dalam Paradigma IPA
Istilah
Positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (1825). Positivisme berakar
pada empirisme. Prinsip Filosofik tentang positifisme dikembangkan pertama kali
oleh empirist Inggris Francis Bacon (sekitar 1600). Tesis positivisme
adalah bahwa ilmu satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah
yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Mengembangkan pemikiran tentang
ilmu universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang ethika, politik dan
agama sebagai disiplin ilmu yang positivistik.[10]
Pelopor
filsafat positivisme ialah August Comte (1798-1857). Dikatakan Positivisme,
karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita selidiki, dapat kita pelajari
hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, yang berdasarkan data-data yang nyata,
yaitu yang mereka namakan positif. Positivisme membatasi penyelidikan studinya
hanya kepada bidang gejala-gejala saja. Apa yang kita ketahui secara positif
adalah segala yang tampak, dan semua gejala.[11]
Pandangan
tersebut didasarkan atas hukum evolusi sejarah manusia yang menurut Comte
mengalami tiga tingkatan, yaitu: Tingkatan teologis yang dikuasai oleh tahayul
dan prasangka, meningkat ke tingkatan metafisik, yang sebetulnya masih abstrak;
dan yang terakhir adalah tingkatan positif, yaitu tingkatan ilmu pengetahuan
(science), di mana pandangan dogmatis diganti oleh pengetahuan faktual. Pada
priode terakhir ini manusia membatasi dan mendasarkan pengetahuannya kepada apa
yang dapat dilihat, yang dapat diukur, dan dapat dibuktikan. Comte sependapat
dengan Descartes dan Newton, di mana ilmu pasti dijadikan dasar segala
filsafat, karena ilmu pasti memiliki dalil-dalil yang bersifat umum.[12]
4. Phenomenologi.
\ Istilah phenomenologi telah
digunakan sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, Hegel, sampai ke Peirce
dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert diartikan sebagai ilusi atas
pengalaman. Pada medio abad Sembilan belas arti phenomenologi menjadi sinonim
dengan fakta. Sejak Edmund Husserl (1859-1938) arti phenomenology telah menjadi
filsafat dan metodologi berfikir. Phenomenon bukan sekedar pengalaman lansung
melainkan pengalaman yang telah menginplisitkan penafsiran dan klasifikasi.
Mulai tahun 1970-an phenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin
ilmu sebagai pendekatan metodologik, dan mengundang kegiatan menterjemahkan
karya –karya utamanya maupun artikel-artikel yang ditulisnya, dan pendekatan
phenomenologi menjadi acuan utamanya.
5. Paradigma
Islam tentang Transformasi Sosial
Salah
satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana
mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi
sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapi suatu pertanyaan pokok,
yakni bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya yang sekarang menuju kepada
keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya. Elaborasi terhadap pertanyaan
pokok semacam itu menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk
menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini dan sekaligus
memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena
teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan
terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir
semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.
Sebagai
sebuah ideologi sosial, Islam juga menderivasi teori-teori sosialnya sesuai
dengan paradigmanya untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang
sesuai dengan cita-citanya. Oleh karena itu jelas bahwa Islam sangat
berkepentingan pada realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami, tapi diubah
dan dikendalikan. Tidaklah islami misalnya, jika kaum muslim bersikap tak acuh
terhadap kondisi struktural masyarakatnya, sementara tahu bahwa kondisi
tersebut bersifat munkar. Sikap etis seperti ini mungkin akan menghasilkan
bias dalam paradigma teori sosial Islam, sebagaimana teori-teori sosial lain
juga mengidap bias normatif, ideologis dan filosofisnya sendiri.[13]
C. Pengertian Paradigma dan
Perkembangannya
Kata ”teori” secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu theoria yang berarti melihat, theoros yang berarti
pengamatan.
Adapun pengertian teori menurut
terminologi memiliki beberapa rumusan yang dikemukakan oleh sejumlah ilmuan di
antaranya sebagai berikut:
Kerlinger mengemukakan teori adalah
suatu kumpulan variabel yang yang saling behubungan, definisi-definisi,
proposisi-proposisi yang memberikan pandangan yang sistematis tentang fenomena
dengan menverifikasikan relasi-relasi yang ada di antara beragam variabel,
dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada.[14]
Teori menurut Sugiono adalah alur
logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, proposisi
yang disusun secara sistematis. Secara umum teori mempunyai tiga fungsi yaitu untuk
menjelaskan, meramalkan, dan pengendalian suatu gejala atau fenomena.[15]
Bangunan
teori adalah abstrak dari sejumlah konsep yang disepakatkan dalam
definisi-definisi. Konsep sebagai abstraksi dari banyak empiri yang telah
ditemukan kesamaan umumnya dan kepilahannya dari yang lain atau abstraksi
dengan cara menemukan sejumlah esensi pada suatu kasus, dan dilakukan
berkelanjutan pada kasus-kasus lainnya, dapat dikonstruksikan lebih jauh
menjadi proposisi atau pernyataan, dengan membuat kombinasi dari dua konsep
atau lebih. Bangunan-bangunan teori tersebut antara lain:
1. Teori
Ilmu
Teori ilmu
memiliki dua kutub arti teori. Kutub pertama adalah teori sebagai hukum
eksprimen muncul beragam, mulai dari hasil eksprimen tersebut meluas ke hasil
observasi phisik seperti teori tentang panas bumi. Kutub kedua adalah hukum
sebagai kalkulus formal dapat muncul beragam pula, mulai dari yang dekat dengan
kutub pertama seperti teori sebagai eksplanasi phisik misalnya teori Galileo
tentang peredaran planet pada porosnya, teori sinar memancar melengkung bila
lewat medan gravitasi. Selanjutnya teori sebagai interpretasi terarah atas
observasi seperti teori sosial statis dan sosial dinamis dari August Comte dan
pada ujung kutub kedua adalah teori sebagai prediksi logik; dengan sifatnya
berlaku umum dan diprediksikan berlaku kapan pun dahulu dan yang akan datang,
seperti teori evolusi dari Darwin, teori relativitas dari Einstein[16]
yang memnberikan penjelasan alternatif tentang sumber energi yang
memungkinkan matahari menghasilkan energi begitu besar dalam waktu begitu lama.[17]
2. Temuan
Substantif Mendasar
Temuan-temuan
atas bukti empirik dapat dijadikan tesis substantif, dan diramu dengan konsep
lain dapat dikonstruk menjadi teori substantif. Asumsi keberlakuan tesis
substantif tersebut ada pada banyak kasus yang sama di tempat dan waktu
berbeda.[18]
3. Hukum-hukum
Keteraturan
a. Hukum Keteraturan Alam
Alam
semesta ini memiliki keteraturan yang determinate. Ilmu pengetahuan alam
biasa disebut hard science, karena segala proses alam yang berupa benda
anorganik sampai organik dan hubungan satu dengan lainnya dapat dieksplanasikan
dan diprediksikan relatif tepat. Menurut al-Kindi ketertiban alam ini,
baik susunan, interaksi, relasi bagian dengan bagiannya, ketundukan suatu
bagian pada bagian lainnya, dan kekukuhan strukturnya di atas landasan prinsip
yang terbaik bagi proses penyatuan, perpisahan, dan muncul serta lenyapnya
sesuatu dalam alam, mengindikasikan adanya pengaturan yang mantap dan kebijakan
yang kukuh. Tentu ada Pengatur Yang Maha Bijaksana dibalik semua ini, yaitu
Allah.[19]
b. Hukum Keteraturan Hidup
Manusia
Hidup manusia
itu memiliki keragaman sangat luas. Ada yang lebih suka kerja keras dan yang
lain menyukai hidup santai, ada yang tampil ulet meski selalu gagal, yang lain
mudah putus asa, ada yang berteguh pada prinsip dan sukses dalam hidup, yang
lain berteguh pada prinsip, dan tergilas habis. Kehidupan manusia mengikuti
sunnatullah, mengikuti hukum yang sifatnya indeterminate.
c. Hukum Keteraturan Rekayasa
Teknologi
Keteraturan
alam yang determinate, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keteraturan
substantif dan ketraturan esensial. Seperti Pohon mangga golek akan berbuah
mangga golek. Ketika ilmuwan berupaya menemukan esensi rasa enak pada mangga,
menemukan esensi buah banyak pada mangga, dan menemukan esensi pohon mangga
yang tahan penyakit, ilmuwan berupaya membuat rekayasa agar dapat diciptakan
pohon mangga baru manalagi yang enak buahnya, banyak buahnya, dan pohonnya
tahan penyakit, di sini nampak bahwa ilmuwan mencoba menemukan keteraturan
esensial pada benda organik. Produk teknologi merupakan produk kombinasi antara
pemahaman ilmuwan tentang keteraturan esensial yang determinate dengan
upaya rekayasa kreatif manusia mengikuti hukum keteraturan sunnatullah.[20]
4. Konstruk Teori Model
Korespondensi
Konstruk
berfikir korespondensi adalah bahwa kebenaran sesuatu dibuktikan dengan cara menemukan
relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan korespondensi tersebut
beragam mulai dari korelasi, kausal, kontributif, sampai mutual. Konstruk
berfikir statistik kuantitatif dan juga pendekatan positifistik menggunakan
cara ini.[21] (Menurut
Bertand Russel suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung
oleh pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan itu. Misalnya, jika ada seseorang yang mengatakan “ Ibu
kota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab
pernyataan itu sesuai dengan fakta objektif.[22]
5. Konstruk Teori Model
Koherensi
Konstruk
teori model koherensi merentang dari koheren dalam makna rasional sampai dalam
makna moral. Konstruk koheren dalam makna rasional adalah kesesuaian sesuatu
dengan skema rasional tertentu, termasuk juga kesesuaian sesuatu dengan
kebenaran obyektif rasional.
Aristoteles
dalam teori koherensi memberikan standar kebenaran dengan cara deduktif, yaitu
kebenaran yang didasarkan pada kriteria koherensi yang dapat diungkap bahwa
berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Bila kita menganggap benar bahwa “semua manusia pasti mati” adalah
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si fulan adalah seorang manusia
dan si Fulan pasti mati” adalah benar pula. Sebab pernyataan kedua adalah
konsisten dengan pernyataan yang pertama.[23]
Konstruk
berfikir koherensi kedua adalah yang dilandaskan kepada kebenaran moral dan
nilai. Sesuatu dipandang sebagai benar bila sesuai dengan moral tertentu. Moral
dalam maknanya yang luas menyangkut masalah: right or wrong, truth or
false, justice or unfair, human or inhuman dan lainnya. Hal ini terkait
dengan kehidupan budi yang terjelma dalam proses penilaian itu merupakan ciri
manusia yang terpenting dalam kehidupan individu, masyarakat dan kebudayaan,
sebagai makhluk yang berkelakuan.
6. Konstruk Teori Model
Pragmatis
Konstruk
teori model Prgmatis berupaya mengkonstruk teorinya dari kosep-konsep,
pernyataan-pernyataan yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau
tidak. Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak; Artinya suatu
pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau implikasinya mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Kaum pragmatis berpaling pada metode
ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggap
fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Agama bisa
dianggap benar karena memberikan ketenangan pada jiwa dan ketertiban dalam
masyarakat. Para ilmuan yang menganut azas ini tetap menggunakan suatu teori
tertentu selama teori itu mendatangkan manfaat.[24]
7. Konstruk Teori Iluminasi
Teori
Iluminasi menurut Mehdi Ha’iri Yazdi adalah pengetahuan yang semua hubungannya
berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan
tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior. Artinya
hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobjek
tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.[25]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Logika adalah cabang
filsafat yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran. kita. Jadi logika pada dasarnya filsafat
berpikir. Berpikir berarti melakukan suatu tindakan yang memiliki suatu tujuan.
Jadi pengertian Logika adalah ilmu berpikir atau cara berpikir dengan berbagai
tindakan yang memiliki tujuan tertentu.
2.
Paradigma
adalah cara pandang atau kerangka berfikir yang mempu menjadi wacana temuan
ilmiah dan dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah dan
atau masyarakat. Sikap para ilmuwan terhadap paradigma yang berlaku dapat
saja berubah jika dalam perjalanan kegiatan ilmiahnya atau penelitiannya
terdapat anomali. Dengan demikian dapat menyebabkan perubahan paradigma
karena adanya anomali itu, selanjutnya menyebabkan sikap para
ilmuwan terhadap paradigma yang berlaku berubah, oleh karena itu sifat
penelitian mereka juga berubah. Hal itu membuat para ilmuwan berusaha untuk
menciptakan paradigma baru, dalam rangka memberikan penyelesaian
terhadap anomali yang ditemukan. Jika paradigma baru itu
diterima oleh komunitas ilmiah maka paradigma terdahulu ditolak dan
ditinggalkan. Paradigma yang baru akan diterima sebagai pengganti
paradigma yang lama.
3.
Teori adalah
seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis untuk
menjelaskan dan meramalkan fenomena. Suatu teori akan mengalami perkembangan
apabila teori tersebut sudah tidak relevan dan kurang berfungsi lagi untuk
mengatasi masalah.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Wiramihardja, Sutardjo, Psi.. Pengantar Filsafat. Bandung: PT. Refika Aditama,
2007.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama 1, Jil.I. Cet. I;
Pamulang Timur, Ciputat: Lolos Wacana Ilmu, 1997.
Bakti
Nasution, Hasan. Filsafat Umum. Cet. I; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001.
Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta:
Yayasan Kanisius, 1975.
Hasan Alwi, et
al.. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III; Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka,
2005.
Kuntowijoyo, Paradigma
Islam Interpretasi untuk Aksi, Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998.
Mustikasari.
Logika Informatika. Cet. I; Makassar:
Alauddin University Press, 2012.
Muhadjir, Noeng. Filsafat
Ilmu, Positivisme, PostPositivisme, dan PostModernisme, Edisi
II; Yogyakarta: Rakesarasin,
2001.
Surajiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar. Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2005.
_______,
dkk. Dasar-dasar Logika. Cet. VI;
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012.
Sambas, Syukriadi. Mantik: Kaidah Berfikir Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996
Salam, Burhanuddin. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Cet.
I; Jakarta: PT. Reneka Cipta. 1997.
Soetriono
dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metologi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit ANDI,
2007.
S.
Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1996.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan
R&D, Cet.III; Bandung: Alfabeta, 2007.
Wattimena, Reza
A.A, Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, Jakarta: PT.
Grasindo, 2008.
[1]Sutardjo
A. Wiramihardja, Psi., Pengantar Filsafat (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 29
[3]Hasan
Alwi, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. III; Cet. IV;
Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 680.
[4]Bertens,
Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1975), h. 137-138
[5]Hasan
Bakti Nasution, Filsafat Umum (cet.I., Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),h. 28
[6]Soetriono
& SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metologi Penelitian (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007), h. 21
[7]Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 21-22
[8]Husain Heriyanto, Paradigma Holistik Dialog Filsafat,
Sains,dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, (Cet; Jakarta
Selatan: Teraju, 2003), h. 28.
[9]Husain Heriyanto, Paradigma Holistik Dialog Filsafat,
Sains,dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, h. 154-155
[10]H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme,Post positivism,
dan Post Modernisme, Ed. II.
(Cet. I; Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2001). h. 69.
[13]Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi,
(Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998), h. 337.
[14]Reza A. A Wattimena, Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar,
(Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 257.
[15]Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, (Cet. III; Bandung: Alfabeta, 2007), h.
173.
[22]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1, Jil. I. ( Cet. I; Pamulang Timur,
Ciputat: Lolos Wacana Ilmu, 1997), h. 33.
Komentar
Posting Komentar