MAKALAH-NASIKH MANSUKH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak
dahulu, kajian
tentang al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, selalu menarik untuk dikaji
tidak saja datang dari kalangan umat Islam sendiri, bahkan dari luar Islam (orientalis).
Salah satu topik pembahasan dalam ‘Ulum al-Qur’a>n yang menstimilus
perdebatan di antara kalangan ulama adalah tentang na>sikh-mansu>kh.
Perbedaan
pandangan mereka tersebut nampak ketika menetapkan ada atau tidak adanya
ayat-ayat yang di-mansu>kh dalam al-Qur’an. Hal ini didasari antara
lain karena adanya ayat-ayat yang tampak kontradiksi bila dilihat secara
lahirnya.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa di antara ayat-ayat al-Qur’an ada yang kontradiksi dan
tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu, mereka menerima teori na>sikh
dalam al-Qur’an. Sebaliknya, bagi para ulama yang berpendapat bahwa ayat-ayat
al-Qur’an keseluruhannya bisa dikompromikan, tidak mengakui teori na>sikh.
Ulama-ulama klasik
(mutaqaddimu>n) yang menerima teori na>sikh dan
mansu>kh dalam al-Qur’an ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana
ayat yang menghapus (na>sikh) dan mana ayat yang dihapus (mansu>kh).
Dalam beberapa data informasi yang sampai kepada kita, disebutkan bahwa
terdapat kecenderungan di kalangan ulama klasik untuk menekankan jumlah ayat
yang dihapus hingga mencapai bilangan yang fantastis.[1]
Al-Suyu>t}i
kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatakan mansu>kh menjadi
hanya 20 ayat. Syah Waliullah menguranginya hingga tersisa 5 ayat. Melihat
bagaimana jumlahnya seiring dengan jalannya sejarah, Sir Sayyid Ahmad Khan
langsung menyebutkan bahwa al-Qur’an tidak terdapat penghapusan.[2]
Dengan
demikian bahwa seiring dengan waktu, akhirnya para penolak naskh dapat
membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan ayat-ayat al-Qur’an yang
tadinya dinilai kontradiktif. Usaha mereka itu telah diterima oleh para
pendukung naskh sendiri, sehingga tentu jumlah ayat yang masih dinilai
kotradiktif, dari hari ke hari semakin berkurang.[3]
Dengan demikian, ulama menyepakati bahwa ayat-ayat al-Qur’an baru dikatakan
kontradiktif, kalau memenuhi beberapa syarat, yaitu: adanya persamaan subyek,
objek, waktu, dan syarat.[4]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang sebelumnya maka dapat diketengahkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud na>sikh
-mansu>kh?
2. Bagaimana pandangan ulama
tentang na>sikh -mansu>kh?
3. Bagaimana kedudukan dan kawasan
penggunaan na>sikh -mansu>kh?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asas
Kiranya
perlu dipertegaskan sebagaimana al-Suyu>t}i menyatakan bahwa al-Qur’an
secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh. Satu bagian dengan bagian
lainnya tidak mengandung pertentangan. Dengan demikian, bagian-bagian tersebut
satu sama lain saling menjelaskan.[5]
Demikian
dijelaskan dalam al-Qur’an adalah firman Allah (QS. al-Nisa’: 82);
أَفَلا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا.
Terjemah:
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau sekiranya al-Qur’an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya”.
Oleh
karena itu, pemahaman kita akan ayat di atas penting diketahui dalam hal
memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an serta menyoroti
ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya.
Dalam
hubungan ini, Imam al-Syatibi dalam kitabnya “al-Muwa>faqa>t” banyak
mengulas tentang prinsip tersebut. Dia berpendapat bahwa antara satu bagian
dengan bagian yang lainnya dari al-Qur’an itu tidak terdapat kontradiksi (ta’a>rud{).[6]
Dari
asas inilah timbul dan lahir metode-metode penafsiran dengan maksud untuk
meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampaknya ada
yang saling bertentangan. Adanya gejala pertentangan yang demikian itu,
merupakan asas metode penafsiran di mana na>sikh-mans>ukh itu
menjadi bagian dari padanya.[7]
B. Pengertian Na>sikh -Mansu>kh
1. Secara Etimologi
Kata
naskh dalam berbagai bentuk kata jadinya disebutkan sebanyak 4 kali di
dalam al-Qur’an, yaitu: QS. al-Baqarah: 106, QS. al-Hajj: 52, dan QS. Ja>s|iyyah: 29, QS.
al-a’Araf: 154.[8]
Kata
na>sikh dan mansu>kh berasal dari kata dasarnya dalam
bahasa Arab; nasakha, yansakhu, naskhan. Na>sikh berbentuk ismun
fa>’ilun, mengandung arti sebagai pelaku, seperti ka>tibun (penulis
atau yang menulis). Mansu>kh berbentuk ismun maf’u>l mengandung
arti sebagai objek. Dalam Bahasa Indonesia, ismun maf’u>l sama
maknanya dengan kata kerja yang didahului dengan imbuhan ter dan di.
Secara
etimologi, kata naskh (bentuk mas}dar) yang berasal dari kata nasakha,
yansakhu, naskhan itu memiliki banyak arti; dalam kamus Tarti>b al-Qa>mu>s
al-Muhi>t} di antaranya bisa berarti al-iza>lah (meniadakan
atau menghilangkan), al-ibt}a>l
(membatalkan), al-tagyi>r (merubah) dan meletakkan sesuatu pada
tempatnya.[9]
Dalam
kamus Mu’jam Maqa>yis al-Lu>gah menyebutkan bahwa naskh
berarti mengangkat atau menghapus sesuatu kemudian menetapkan sesuatu yang lain
pada tempatnya (sesuatu yang pertama) dan merubah sesuatu kepada sesuatu yang
lain.[10]
Adapun
menurut Badruddin Muhammad bin ‘Abdillah al-Zarkasyi bahwa naskh
mengandung 4 (empat) makna,[11]
yaitu:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى
أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخ اللَّهُ مَا يُلْقِي
الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آَيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
.
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang
Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan
oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”
(Q.S. Al-Hajj: 52)
b)
Tabdi>l (penggantian), seperti dalam
ayat berikut;
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ
آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَـزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ
أَكْثَرُهُمْ
لا يَعْلَمُونَ.
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain
sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan
saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Q.S. Al-Nahl: 101)
c)
Tahwi>l (pengalihan), seperti tana>sukh
al-mawa>ris| , mengalihkan pusaka dari seseorang kepada yang lain.
d)
Naql
(memindahkan)
dari satu tempat ke tempat lain, seperti nasakhtu al-kita>ba, yakni
mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut lafadz dan tulisannya.[13]
Bila
naskh diartikan menghapus, kata na>sikh berbentuk ismun
fa>’ilun yang berarti yang melakukan, maka na>sikh
diartikan “yang menghapus”. Sedangkan kata mansu>kh berbentuk ismun
maf’u>l yang berarti dikenai pekerjaan (obyek), dapat diartikan “yang
terhapus” atau “yang dihapus”.
2. Secara Terminologi
Adapun
secara terminologi, para ulama mendefinisikan naskh dengan redaksi yang
sedikit berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama:
a) Menurut Al-Zarqa>ni>’, naskh
adalah:
رفع الحكم
الشرعى بدليل شرعى.[14]
“Menghapus hukum syara’ dengan hukum syara’ yang lain”.
Terminologi
“menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang
dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu
sendiri.[15]
b) Menurut al-Qat}t}a>n, naskh
adalah:
رفع الحكم
الشرعى بخطاب شرعى.[16]
“Menghapus hukum syara’ dengan
khit}ab syara’ pula”.
Adapun
contohnya yaitu di dalam QS al-Baqarah: 228,
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ.
Terjemah:
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Makna
al-mutallaqa>t
dengan masa ’iddah
tiga kali quru>’ pada ayat tersebut, dihapus oleh ayat lain, yakni QS
al-Ahzab: 49,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ
تَعْتَدُّونَهَا.
Terjemah:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya.”
Ayat
kedua ini dianggap menghapus ayat pertama di atas. Hal ini dipahami dari kata min
qabl ‘an tamassu>hunna (sebelum kamu mencampurinya). Jadi istri yang
diceraikan terbebas dari masa ’iddah, apabila ia belum pernah digauli.
Dengan demikian, ayat pertama di atas disebut ayat mansu>kh
(dihapus), sedang ayat kedua yang datang kemudian disebut na>sikh
(yang menghapus).[17]
Dalam
hal pengertian naskh, Quraish Shihab menyatakan bahwa antara ulama-ulama
mutaqaddimi>n dan mutaakhkhiri>n tidak sepakat dalam
memberikan pengertian naskh secara terminologi. Hal itu terlihat dari
kontroversi yang muncul di antara mereka dalam menetapkan adanya naskh dalam
al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimi>n [18]
bahkan memperluas arti naskh hingga mencakup:
a) Pembatalan hukum yang ditetapkan
terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b) Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh
hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c) Penjelasan susulan terhadap
hukum yang bersifat ambigius (samar).
d) Penetapan syarat terhadap hukum
yang terdahulu yang belum bersyarat.[19]
Lebih
lanjut Quraish Shihab mengemukakan bahwa pengertian yang demikian luas tersebut
di atas, dipersempit oleh para ulama mutaakhkhiri>n. menurut mereka naskh
hanya terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau
mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku
adalah yang ditetapkan terakhir.[20]
Dengan demikian, yang menjadi bahan perselisihan dan permasalahan adalah adanya
na>sikh-mansu>kh[21]
dalam al-Qur’an.
C. Perbedaan Pendapat Ulama tentang
Naskh
Fokus pembahasan ini ialah mengenai naskh al-hukm du>n
al-tila>wah, yaitu persoalan ada atau tidaknya perubahan hukum
dari satu ayat dengan ayat lain, ketika ayat tersebut terpisah dalam proses turunnya.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang
eksistensi naskh dalam al-Qur’an.
Ada yang mendukungnya dan ada yang menolaknya.
Para
pendukung keberadaan naskh dalam al-Qur’an, mengemukakan argumentasinya adalah
firman-firman Allah QS al-Baqarah: 106, berikut:
مَا نَنْسَخْ مِنْ
آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ
أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
“Ayat
mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (rasul) melupakannya, maka
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.
Menurut
para pendukung naskh, “ayat” yang di-naskh itu adalah ayat
al-Qur’an yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeda
dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian
terminologi di atas dengan menyatakan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah
mukjizat para Nabi. Pendukung naskh juga mengemukakan ayat 101 sura
al-Nahl:
وَإِذَا بَدَّلْنَا
آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنزلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ
مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ.
Dan
apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan
mereka tiada Mengetahui.
Ulama
yang tidak mengakui adanya naskh, di antaranya Abu> Muslim
al-As}faha>ni>. al-As}faha>ni membantah argumen yang dikemukakan oleh
pendukung naskh dengan mengajukan ayat 42 surat al-Fus}s}ilat: 142;
لا يَأْتِيهِ
الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنزيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيد.
“Tidak datang
kepadanya (al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya,
(karena) ia diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
Menurut
al-As}faha>ni, bertolak dari ayat di atas, al-Qur’an tidak mungkin disentuh
pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama
merasa keberatan terhadap pendapat al-As}faha>ni tersebut, sebab bagi
mereka, ayat di atas tidak bicara tentang “pembatalan”, tetapi tentang
“kebatilan” yang berarti lawan dari “kebenaran”. Juga menurut mereka, hukum
Tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil,
sebab sesuatu dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan
kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.[22]
Lebih
jauh, Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat al-Qur’an pada dasarnya
berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada suatu waktu, pada waktu
yang berlainan akan tetap berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuaian
kondisi dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan. Ini mengandung
arti bahwa Islam diterapkan secara hierarkis, sebagaimana al-Qur’an pun
diturunkan secara bertahap.[23]
Dengan
demikian, seiring dengan waktu, akhirnya para penolak naskh dapat
membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan ayat-ayat al-Qur’an yang
tadinya dinilai kontradiktif. Usaha mereka itu telah diterima oleh para
pendukung naskh sendiri, sehingga tentu jumlah ayat yang masih dinilai
kotradiktif, dari hari ke hari semakin berkurang. Dengan demikian, ulama
menyepakati bahwa ayat-ayat al-Qur’an baru dikatakan kontradiktif, kalau
memenuhi beberapa syarat, yaitu: adanya persamaan subyek, objek, waktu, dan
syarat.
D. Kedudukan Na>sikh
Masalah
na>sikh -mansu>kh itu, bukanlah sesuatu yang independen. Ia
merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu usul fikih.
Oleh karena itu, ia sudah merupakan teknis dengan batasan pengertian yang sudah
baku. Imam Subki> menerangkan bahwa ada perbedaan pendapat tentang kedudukan
na>sikh -mansu>kh itu; apakah ia berfungsi “pencabutan” (raf’u),
ataukah berfungsi “penjelasan” (baya>n).[24] Ungkapan beliau tersebut dapat dikaitkan dengan
hal-hal yang menyangkut dengan na>sikh -mansu>kh, yang
telah diuraikan sebelumnya.
Jika
ditinjau dari segi formalnya, maka fungsi pencabutan itu lebih tampak, tetapi
apabila ditinjau dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol.
Namun, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok, yakni bahwa na>sikh
-mansu>kh itu merupakan salah
satu interpretasi hokum.[25]
E. Kawasan Penggunaan Na>sikh -Mansu>kh
Menurut
al-Qat}t}a>n bahwa na>sikh -mansu>kh hanya menyangkut perintah dan larangan,
sedangkan berita tidak akan terjadi pada na>sikh -mansu>kh.[26]
Statemen ini, kiranya penting untuk dicermati, karena hal ini mengandung
pengertian bahwa soal na>sikh -mansu>kh itu adalah
semata-mata soal hukum, hanya perintah dan larangan yang merupakan unsur pokok
dari hukum.
Dengan
demikian, menurut Mardan bahwa mengenal asas, pengertian, kedudukan dan kawasan
pengguanan na>sikh -mansu>kh, dapat diketengahkan
pensyaratannya, yaitu:
1. Adanya ketentuan hukum yang
dicabut (mansu>kh ), yang dalam formulasinya tidak mengandung
keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Bahwa ketentuan hukum tersebut,
bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikannya atau
keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan dipihak yang baik serta
kebohongan, ketidakadilan di pihak yang buruk.
3. Bahwa ketentuan hukum yang
mencabut (na>sikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya na>sikh
itu adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada
sebelumnya.
4. Bahwa gejala kontradiksi sudah
tidak dapat lagi diatasi.[27]
F.
Jenis Nask dalam al-Qur’an
Na>sikh-mansu>kh dalam al-Qur’an mempunyai empat makna,
Pertama, menunjuk pada pembatalan hukum yang dinyatakan dalam
kitab-kitab sama>wi sebelum al-Qur’an. Kedua, menunjuk pada
penghapusan sejumlah teks ayat-ayat al-Qur’an dari eksistensinya, baik penghapusan
teks dan hukum yang terkadung di dalamnya sekaligus (naskh al-hukm wa
al-tila>wah). Ketiga, penghapusan teksnya saja, sementara
hukumnya tetap berlaku (naskh al-tila>wah du>na al-hukm), dan Keempat,
menghapus ayat-ayat yang turun lebih awal oleh ayat-ayat yang turun
kemudian atau belakangan, tetapi teks atau ayat terdahulu masih tetap
terkandung di dalam al-Qur’an (naskh al-hukm du>na al-tila>wah).[28]
Pada
kajian pertama, memberikan makna bahwa semua syari’ah sebelum Islam di nasikh
oleh syari’ah Islam[29],
termasuk Injil, Zabur, dan Taurat.[30] Mayoritas ulama menyepakati bahwa jenis
pertama ini meruapakn salah satu jenis naskh. Tetapi asumsi ini
bertentangan dengan ayat mushoddiqullima baiyna yadaihi (QS. Ali Imran;
3: 3). Juga perintah al-Qur’an untuk mengembalikan atau merujuk kitab mereka
sendiri ketika berhadapan dengan persoalan hukum (QS. al-Maidah; 5: 42), Umat
Kristen juga diminta untuk merujuk pada Injil (QS. al-Maidah; 5:50) karena
Taurat dan Injil adalah Wahyu Allah (QS. al-Maidah; 5: 71).
Begitu
pula dengan jenis yang keempat, yaitu adanya nasikh-mansukh antara satu
ayat yang memuat ketentuan hukum dalam al-Qur’an dengan ayat lain, yang juga
memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak
diperselisihkan.
Kajian kedua, naskh
hukm wa al-tila>wah, yaitu
hilangnya teks al-Qur’an dan hukumnya. Ini terlihat apa yang disampaikan oleh
Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى
قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ عَنْ
عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ
عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ
فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ
الْقُرْآنِ.
“Diantara yang
diturunkan kepada Nabi adalah sepuluh kali isapan susuan yang diketahui diharamkan.
Kemudian ketentuan ini di-nasikh oleh “lima isapan susuan yang sudah
diketahui”. Maka setelah Nabi wafat, lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an
yang di baca”.
Akan
tetapi dalam riwayat Bukhari dari Ibn Zubair, ayat di atas hanya disebut
sebagai hadits Nabi. Dengan demikian, jenis naskh seperti ini sangat
sulit untuk diterima, baik secara aqli maupu naqli.
Naskh
al-tilawah dun al-hukm, tulisan
dihapus tetapi hukumnya tetap ada. Umar bin Khat}t}a>b mengatakan, dalam
versi Itqan menyebutkan ;
الشيخ و
الشيخة إذا زنيا فارجمواهما البتة نكالا من الله والله عزيز حكيم.
“Apabila seorang
lelaki dewasa dan seorang perempuan dewasa berzina, maka rajamlah keduanya,
itulah kepastian hukum dari Allah dan Allah maha kuasa lagi bijaksana.”
Kedua berita ini, hanya di riwayatkan oleh perorangan.
Sementara sebuah riwayat yang s}ahih, perlu dukungan dari
laporan-laporan shahabat lain. Dengan demikian, menurut hemat penulis bahwa
kedua jenis di atas (naskh hukm wa al-tila>wah dan naskh hukm wa al-tila>wah) bukan jenis naskhi dalam
al-Qur’an karena ayat-ayat yang diduga (bagian dari al-Qur’an) memang nyatanya
bukan dari al-Qur’an.
Lebih lanjut bahwa Musthafa Muhammad Sulaiman dan yang lainnya,[31] membagi na>sikh-mansu>kh menjadi
empat kajian ; 1), Na>sikh ayat al-Qur’an dengan
al-Qur’an. 2), Na>sikh ayat al-Qur’an dengan sunnah. 3), Na>sikh
sunnah dengan ayat al-Qur’an. 4), Na>sikh sunnah dengan sunnah.
Contoh dari na>sikh ayat al-Qur’an dengan
al-Qur’an adalah kasus hukum iddah (masa tenggang) bagi seorang wanita
janda yang semula satu tahun (QS. al-Baqarah; 2: 240), beberapa waktu kemudian
ditetapkan bahwa masa tenggangnya hanya 4 bulan 10 hari (QS. al-Baqarah; 2:
234). Juga bisa kita lihat pada kasus penetapan hukum masalah arak (khamr),
yang pada mulanya al-Qur’an hanya menyampaikan tentang positif dan negatifnya khamr
tersebut, kemudian al-Qur’an meminta kaum Muslimin untuk tidak mabuk ketika
sholat (QS. al-Nisa; 4: 43). Dan terakhir al-Qur’an menegaskan kepada kaum
Muslimin untuk tidak menggunakan atau meminum khamr (QS. al-Maidah; 5:
90 – 91).
Muncul persoalan, ketika kajian na>sikh-mansu>kh
ini masuk pada wilayah nasikh al-Qur’an dengan Sunnah. Imam Malik, Abi Hanifah, dan Imam Ahmad
menerima na>sikh model ini, meskipun hanya na>sikh
al-Qur’an dengan hadis
Mutawa>tir. Sementara Imam Syafi’I,[32] Ahli Zahir, dan sebagian kelompok Imam Ahmad menolaknya,
karena alasan tingkat kedudukan sunnah yang tidak sebanding dengan al-Qur’an.[33]
Adapun
contoh na>sikh sunnah dengan al-Qur’an adalah ketika
“tradisi” Nabi yang masih berkiblat di Bait al-Maqdis, dan enam bulan
kemudian setelah hijrah ke Madinah, maka turunlah ketetapan dari al-Qur’an (QS.
al-Baqarah; 2 : 144). Juga kebiasaan Nabi yang telah menetapkan bulan al-Syura
sebagai bulan wajib puasa, lalu di kounter oleh al-Qur’an dengan
turunnya sebuah ayat “maka barang siapa yang melihat bulan ramadhan,
hendaknya berpuasalah ia” (QS. al-Baqarah; 2: 185). Akan tetapi, model ini
pun ditolak oleh al-Syafi’i, karena apa saja yang ditetapkan oleh sunnah tentu
didukung oleh al-Qur’an, begitu juga sebaliknya, ketetapan al-Qur’an
tentunya tidak bertentangan dengan Sunnah. Sehingga antara al-Qur’an dan Sunnah
saling bersinergi, tidak kontradiktif.[34]
G. Hikmah adanya Na>sikh
-Mansu>kh
Menurut
Manna>’ Al-Qat}t}a>n bahwa terdapat empat hikmah adanya na>sikh
-mansu>kh, yaitu:[35]
1. Menjaga kemaslahatan hamba.
2. Pengembangan pensyariatan hukum sampai
kepada ke tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi
manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf
dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan
bagi ummat. Sebab apabila ketentuan na>sikh lebih berat dari pada
ketentuan mansu>kh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan
pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam na>sikh lebih mudah dari
pada ketentuan mansu>kh, itu berarti kemudahan bagi ummat.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana
uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal, yaitu:
1. Pengertian naskh diartikan
sebagai raf’u al-hukm al-syar’i>, sehingga kawasan
penggunaannya hanya terhadap ayat-ayat tentang perintah dan larangan. Terminologi “menghapuskan” dalam definisi
tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf,
dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu sendiri.
2. Tentang keberadaan naskh telah
melahirkan perdebatan antara ulama yang pendukung dan ulama yang menolak. al-As}faha>ni
selaku pelopor yang menolak, tidak mengakui keberadaan naskh dalam
al-Qur’an, tetapi dia mencetuskan takhs}i>s antitesa dari naskh.
3. Naskh tidak bisa ditetapkan melalui
prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kotradiksi antara
beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya atau belakangnya keislaman salah
seorang dari pembawa riwayat.
4. Keberadaan dan pemberlakuan na>sikh-mansu>kh
harus memenuhi pensyaratannya, yaitu:
a) Adanya ketentuan hukum yang
dicabut (mansu>kh), yang dalam formulasinya tidak mengandung
keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
b) Bahwa ketentuan hukum tersebut,
bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikannya atau
keburukannya.
c) Bahwa ketentuan hukum yang
mencabut (na>sikh ) ditetapkan kemudian.
d) Bahwa gejala kontradiksi sudah
tidak dapat lagi dikompromikan.
B. Implikasi
Sehubungan dengan urgensi dari na>sikh-mansu>kh ini,
pendapat Jalal al-Din al-Suyu>t}i dalam al-Itqa>n, yang banyak dikutip oleh
para penulis ‘Ulum al-Qur’an menegaskan : “Para ulama
(a’imah) mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan
kitab Allah kecuali terlebih dahulu mengetahui ayat-ayat yang terdapat dalam
al-Qur’an, yang me-naskh-kan dan di-naskh-kan”.
Oleh karena itu, implikasi yang perlu diperhatikan seorang
mufassir atau seorang mufti> atau qa>di> sebelum
mengetahui dan menerapkan konsep na>sikh-mansu>kh
yaitu mengetahui ilmu disiplin asbab al-nuzul dan sejarah turun al-Qur’an
beserta periwayatan hadisnya.
Dan
tentunya, dengan mengetahui konsep na>sikh-mansu>kh, diharapkan
seorang mufassir atau seorang mufti> atau qa>di> dapat
digunakan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat yang memeng memenuhi syarat
untuk diberlakukan konsep na>sikh-mansu>kh
.
[1] Rosihan Anwar, Ulum al-Qur’an, (Cet.I, Bandung: Pustaka
Setia, 2008), h. 163.
[2] Taufiq Adnan dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual
al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989), h. 29.
[4] Mardan, Al-Qur’an; Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an secara
Utuh, (Cet. I, Jakarta: Pustaka Mapan, 2009), h. 121.
[5] Jal
al-Di>n al-Suyu>t}i, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n .
Juz II (Mis\r: al-Maktabah al-Taufiq, 2003), h. 47.
[6] Al-Imam
al-Sya>t}ibi<, al-Muwa>faqa>t fi> ‘Us}u>l al-Syari<’at,
Jilid III, (Bairut: Da>r al-Ma’a>ri>f, 1975), h. 108.
[7] Mardan, Al-Qur’an; Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an secara
Utuh. h. 117
[8] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m, (Cet. IV, Bairut: Da>r
al-Fikr, 1994), h. 870.
[9] Al-Tahir Ahmad al-Zawi, Tarti>b al-Qa>mu>s
al-Muhit<} ‘ala> T{ari>qah al-Misba>h} al-Muni<r wa Asas
al-Bala>gah, Juz 4 (al-Riya>d} : Da>r
al-‘Ulu>m al-Kutub, 1996), h. 362.
[10] Abu al-Husain Ahmad Faris bin Zakariyya, Mu’jam Maqa>yis
al-Luga>h, Juz 5 (Dar al-Fikr, t.t, t.hn), h. 424.
[11] Lihat juga Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, Al-Qawa>’idu
al-‘Asa>siyyah fi< ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Surabaya:
al-Haramain, t.hn), h. 60.
[12] Lihat juga Abdurrahman bin al-Jauzi, Nawa>sikhu al-Qur’an –
al-Na>sikh wa al-Mansu>kh, (Cet.I, Bairut: Da>r al-Fikr al-Libnani<,
1992), h. 15.
[13] Sebagian ulama menolak makna keempat ini, dengan
alasan bahwa si na>sikh tidak dapat mendatangkan lafadz yang di-mansu>kh itu, tetapi hanya mendatangkan lafadz lain.
[14] Muhammad ‘Abd
al-‘Az}i>m Al-Zarqa>ni>’. Mana>hil al-‘Irfa>n fi>
‘Ulu>m al-Qur’a>n. Juz 2. (Cet. I; Bairut: Da>ru
Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1995), h. 460.
[16] Manna>’
Al-Qat}t}a>n. Maba>h}is fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. (Cet. II; Bairut: al-Risalah, 1999), h. 232.
[17] Penghapusan yang dimaksud adalah bukan nash ayat yang di-mansukh, tetapi hukum yang dikandungnya.
[18] Abad I hingga abad III H.
[19] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an. h. 144
[20] Ibid.
[21] Yaitu poin a sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Quraish
Shihab. Adapun poin b, c dan d, ketiganya tidak diperselisihkan. Namun istilah
yang diberikan untuk ketiga poin tersebut bukan naskh tetapi takhsis}
(pengkhususan).
[22] Muhammad
‘Abd al-‘Az}i>m Al-Zarqa>ni>’., op.cit., h. 482. Lihat juga M. Quraish Shihab., op.cit., h. 146.
[23] Ibid., h. 147.
[24] Ta>j
al-Di>n Abd al-Wahha>b bin ‘Ali al-Subki>. Jam’u al-Jawa>mi’.
(Cet. II; Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2003), h. 57.
[25] Mardan, Al-Qur’an; Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an secara
Utuh, h. 152.
[27] Mardan, Al-Qur’an; Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an secara
Utuh, h. 126.
[28] Muhammad
‘Abd al-‘Az}i>m Al-Zarqa>ni>’., op.cit., h. 487 . Lihat juga Manna>’ Al-Qat}t}a>n., op.cit., h. 238.
[29] Salah satu yang di nasikh secara pasti disini sebenarnya
adalah tradisi jahiliyah. Implikasi dari sini adalah tidak adanya na>sikh-mansu>kh setelah Nabi. Lihat Tholhah Mansur,
dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta: IAIN Jakarta, 1985) hlm 189 – 190.
[30] Ali Yafi, Na>sikh-Mansu>kh dalam al-Qur’an” dalam Budhy Munawar-Rahman,ed., Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta : Paramadina, 1994) hlm. 44 – 45.
[31] Musthafa Muhammad Sulaiman, al-Na>sikh fi al-Qur’an
al-Kari>m (Kairo:
Maktabah al-Amanah. 1991) hlm 49. Juga M. Bakr Ismail. Dira>sah fi Ulu>m
al-Qur’an (Kairo: Da>r al-Mana>r. 1991) hlm 300.
[32] Dalam al-Risa>lah
Imam al-Syafi’i menyebutkan; “Allah menegaskan
bahwa ketentuan dalam al-Kitab hanya bisa dihapuskan oleh al-Kitab itu sendiri.
Sunnah Nabi tidak bisa membatalkan ketentuan al-Kitab, karena al-Sunnah justru
yang harus ikut dengan al-Kitab, baik dengan memberikan penegasan yang sama
atau memberikan penjelasan terhadap makna yang dibawa”. Lihat Imam al-Syafi’i. al-Risa>lah (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1992), hlm 67 – 68.
[34] Lihat Jaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an. Jilid
I. (Beirut: Dar al-Fikr. tth) hlm 21 – 22.
Komentar
Posting Komentar