AL-FARABI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kelahiran ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh beberapa tokoh filsafat Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato, Aristoteles dan sebagainya telah menjadi sebab lahirnya para filsuf Muslim, diantaranya adalah al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang terbesar dalam dunia kefilsafatan Islam. Meskipun diantara mereka banyak terjadi perbedaan-perbedaan dalam berargumen, namun pada hakikatnya tujuan mereka tetapsama yakni mencari dan menemukan kebenaran dengan akal yang berpedomankan pada al-Quran dan as-Sunnah. Namun di sini pengkajian hanya difokuskan pada sejarah pemikiran salah seorang filsuf muslim besar yang terkenal dengan sebutan “Guru Besar Kedua setelah Aristoteles”, beliau adalah Abu Naser atau al-Farabi.
Beliau adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreatifitas, kebebasan berpikir, dan tingkat sostifikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.[1] Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr atau Abu Nase.

B.   Rumusan Masalah
          Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan pokok yaitu siapakah sebetulnya Al-Farabi dan apa sungbangsi dalam dunia islam?
            Dari permasalahan poko tersebu dapat di rumuskan beberapa sub masalah diantaranya sebagai berikut:
1.      Siapakah al-Farabi itu?
2.      Bagaimana filsafat jiwa menurut al-Farabi?
3.      Bagaimana pemikiran emanasi munurut al-Farabi?
4.      Bagaimana konsep pemikiran al-Farabi tentang Nabi.?
5.      Bagaimana teori politik menurut al-Farabi?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Riwayat Hidup Al-Farabi
      Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi, lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, propinsi Transoxiana, Turkestan, tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang pejabat tinggi militer dikalangan dinas ketentaraan dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana, propinsi otonom dalam kekhalifahan Abbasiyah, sehingga al-Farabidipastikan termasuk keluarga bangsawan yang mempunyai kemudahan fasilitas, sementara ibunya berkebangsaan Turki.[2]Oleh sebab itu terkadang ia disebut keturunan Persia dan terkadang pula disebut keturunan Turki. Akan tetapi sesuai ajaran Islam, yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, maka lebih tepat ia disebut keturunan Persia.Dunia Barat mengenal namanya sebagai Alpharabius dan juga dengan nama Avennaser.
      Kendati ia dipandang sebagai bintang terkemuka dikalangan filsuf muslim, informasi tentang dirinya sangat terbatas. Umumnya para penulis menyatakan bahwa al-Farabi keturunan Turki (Ayahibunyaorangturki). Tapi Ibnu Ushaibiah menyebutkan bahwa ayah al-Farabi yang seorang jenderal adalah Persia.[3] Al-Farabi bukanlah keturunan Arab, melainkan campuran Persia Turki.
      Para sejarawan mengidentifikasikan bahwa masuknya Islam keluarga al-Farabi diperkirakan pada masa kakeknya, Tarkhan. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan dengan terjadinya peristiwa penaklukkan dan Islamisasi atas farab oleh dinasti Samaniah pada tahun 839-840 M.[4]
      Pendidikan dasar dan masa remaja Al-Farabi dijalani di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Di sini ia mempelajari tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar di samping al-Qur’an. Berkat kecerdasan yang digambarkan sebagai “kecerdasan istimewa dan bakat besar”, Al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari. Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Menurut Ibn Abu Usaibiah, di Bukhara ini, Al-Farabi  sempat menjadi hakim (qâdli) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya.[5]
       Sekitar tahun 922 M, Al-Farabi pindah ke Baghdad untuk lebih mendalami filsafat. Di sini ia belajar logika dan filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan terutama Ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak Al-Farabi  pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantin, Al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat. Ia menjauhkan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sektarian yang menimpa Baghdad selama akhir periode ini. Satu-satunya kontak dengan tokoh istana adalah dengan perdana menteri yang melindungi pemikiran filsafat, seperti Ibn al-Furat, `Ali ibn `Isa dan Ibn Muqlah.
       Selanjutnya, ketika situasi politik di Baghdad memburuk, pada tahun 942 M, Al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat itu dikuasai dinasti Ikhsidiyah. Namun, tiga tahun kemudian ia pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir, Al-Farabi kembali ke Damaskus, tahun 949 M, kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, putra mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melibatkan penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas (w. 968 M), Abu al-Faraj (w. 968 M) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawaih (w. 980 M), Al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya. Ia sangat dihormati oleh pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasehat negara.[6]
      Al-Farabi dipandang sebagai filosof Islam pertamayang berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204 – 270 M) yang menjadi peletak filsafatpertama di dunia Barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh Al-Yunani (guru besar dari Yunani), maka mereka menyebut Al-Farabi sebagai al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua) dimana guru pertama disandang oleh Aristoteles.
       al-Farabi memahami lima bahasa dan mempelajari filsafat, kedokteran, matematika, kimia dan musik. Dia adalah pemain kecapi istimewa.[7]
Diantara judul karya Al-Farabi yang terkenal adalah:
1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
2. Ihsha’ al-Ulum 25
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain: al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat
      Ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al-Farabi dapat ditinjau menjadi 6 bagian yaitu logika, ilmu matematika, ilmu alam, teologi, ilmu politik kenegaraan, dan bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).
      Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
      Melalui karya tulisannya itu, al-Farabi memperlihatkan dirinya sebagai muslim yang teguh memegang agama, penerus Plato dalam bidang etika dan politik, penerus Aristoteles dalam bidang logika dan fisika, dan sebagai pengikut Plotinus dalam bidang metafisika. Dari berbagai sumber itu ia memperoleh prinsip-prinsip yang diyakininya serasi sehingga ia dapat membangun satu sistem filsafat yang lengkap.
      al-Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil (al-bâb al-shaghîr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi, seorang sarjana pertama sekaligus paling terkenal dari “lingkaran Saif al-Daulah”.
B. Filsafat Jiwa Menurut al-Farabi
      Jiwa merupakan akhir alam akal menjadi permulaan makhluk-makhluk yang terdapat dalam alam indrawi. Karena itu, ia mempunyai pertalian dengan kedua alam tersebut. Plotinus menganggap setiap kekuatan yang bekerja dalam alam ini adalah jiwa-jiwa menjadi kekuatan pengatur pada bagiannya yang terendah (alam materi) karena ia adalah kekuatan kontemplasi dan perenungan pada bagiannya yang tertinggi (alam rohani).[8]
      al-Farabi tampil sebagai salah satu filosof Islam yang banyak membincangkan tentang jiwa. al-Farabi menerangkan setiap spesies tumbuhnya memiliki jiwa. demikian  pula binatang dan manusia. Jiwa manusia memiliki potensi yang dapat mengaktual menjadi daya-daya mewujudkan perbuatan-perbuatan melalui alat-alat tubuh, seperti yang dimiliki jiwa tumbuhan dan binatang dan mempunyai kelebihan dari jiwa binatang dan tumbuhan yaitu memiliki potensi yang dapat mengaktual menjadi daya untuk berbuat, tapi tidak dengan alat tubuh.dan itulah potensi akal.
      Al-Farabi berupaya membuat sintesa antara pandangan Plato dan pandangan Aristoteles, tentang jiwa manusia. Mengikuti pandangan Aristoteles, al-Farabi menyatakan bahwa jiwa manusia adalah bentuk (surah) bagi tubunhya, tapi tidak sekedar itu karena ia juga mengikuti Plato yang mengatakan bahwa jiwa manusia itu adalah subtansi imatari yang tidak hancur dengan hancurnya badan. Berbeda dengan Plato, al-Farbi tidak mengakui praeksistensi jiwa manusia. Bagi al-Farabi jiwa manusia dipancarkan oleh akal X manakala suatu tubuh sudah siap untuk menerimanya. Ia juga menolak adanya reinkarnasi jiwa (perpindahan jiwa secara berulang-ulang dari suatu tubuh ke pada tubuh yang lain).
      Adapun tentang jiwa, al-Farabi dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan kebadan yang lain.
Jiwa manusia sebagaimana halnya materi asal memancar dari akal kesepuluh. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda, dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang beruap, berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
       Daya teoritis terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
Akal Potensial; baru mempuyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti   atau bentuk–bentuk dari meterinya.
Akal Aktual; telah dapat melepaskan arti–arti dari materinya, dan arti–arti itu telah mempuyai wujud akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk aktua.
Akal Mustafad; telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal.
       Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya. Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (القوة الغاذية) sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi besar dan dewasa. Kedua, daya mengindera (القوة الحاسة), sehingga memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap, membau, mendengar dan melihat warna serta objek-objek penglihatan lain. Ketiga, daya imajinasi (القوة المتخيلة) sehingga memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera.
Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan atau memisahkan kesan-kesan yang diterima dari indera sehingga menghasilkan kombinasi atau potongan-potongan. Hasilnya bisa benar atau salah. Keempat, daya berpikir (القوة الناطقة) yang memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni. Kelima, daya rasa (القوة التروعية), yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.[9]
       Pengetahuan manusia, menurut Al-Farabi, diperoleh lewat tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera (القوة الحاسة), daya imajinasi (القوة المتخيلة) dan daya pikir (القوة الناطقة), yang masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama dalam pencapaian keilmuan.[10]
            "Konsep psikologi" al-Farabi, jika diistilahkan demikian, sungguh sangat modern dan “manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak hanya merangkum potensi-potensi tumbuhan (vegetatif) dan binatang (animal) sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang, tetapi yang terpenting adalah potensi-potensi nalar (rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai potensi intelek (العقل الكلي) sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungan dunia material untuk selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis non-material. Bahkan, intelek ini pulalah yang mampu mengantarkan manusia “bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah nilai utama seorang manusia dibanding makhluk lain.[11]
C.   Pemikiran Emanasi Menurut al-Farabi
Emanasi berasal dari bahasa inggris: emanation; dari latin e (dari) dan manare (mengalir). Emansi adalah doktrin mengenai terjadinya dunia. Dunia terjadi karena dan oleh proses dimana yang ilahi meleleh.[12]Teori ini diperkenalkan oleh plotenus (205-270M), Filosof yunani. Karena filsafatnya merupakan pengembang dari filsafat plato. Dalam ajaran plotinus, dari yang esa memancar akal. Selanjutnya, dari akal memancar jiwa dunia dan dari jiwa dunia memancar materi dunia.
      Di dunia islam, ajaran emanasi ini pertama kali dibawa oleh al-Farabi. Tuhan diyakini sebagai maha esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Karena itu yang keluar darinya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena Ilmu Tuhan terhadap zatnya yang satu. Seandainya yang keluar dari zat tuhan itu banyak, berarti zat tuhan itu banyak.
      Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari zat yan wajibul wujud (zat mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”.Wajibul wujud itu dengan segala keterangan tak dapat tidak hanya satu tunggal dan tidak ada yang sama dengan dia. Jika ada yang sama, tentulah bersamaan pula dalam segala zat dan sifatnya, dan hal itu tidak mungkin, karena tidak satu dalam zatnya. Wajibul wujud yang mempunyai puncak kesempurnaan dalam segala-galanya tidak boleh tidak melainkan satu jua.[13]
      Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran  Platonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), akan tetapi al-Farabi menguraikannya secara ilmiah, dimana ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar sususnan wujud yang sebaik-baiknya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Dengan demikian, maka keluarnya alam (makhluk) dari Tuhan terjadi tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-semata. Akan tetapi wujud alam (makhluk) tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi bagi Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkannya. Alam tersebut tidak merupakan tujuan bagi Tuhan dan wujud-Nya pun bukanlah karena lainnya.
      Proses emanasi yang dimaksudkan al-Farabi adalah bahwa Tuhan sebagai ”akal” Berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul wujud lain, yaitu akal pertama yang sekaligus merupakan wujud kedua karena wujud pertama adalah tuhan itu sendiri. Seterusnya akal pertama atau wujud kedua ini bertapakkur (berfikir) tentang tuhan sehingga dari pemikiran itu memancar akal kedua sekaligus wujud ketiga. Selain bertafakkur tentang tuhan, akal pertama ini juga bertafakkur tentang dirinya sehingga timbul langit pertama Proses berjalan secara berturut-turut lalu terciptalah akal ketiga sampai seterusnya akal X (kesepuluh).[14]
Dengan mengembangkan teori emanasi Plotinus, al-Farabi menghasilkan teori emanasi, yang dapat diungkapkan sebagai. Tuhan (yakni wujud I), karena memikirkan diri-Nya, memancarkan akal I (wujud II). Akal I, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal II (wujud III), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan akal lingkaran langit pertama (as-sama’ al-ula), yakni langit terbesar atau terluas dan terjauh dari bumi. Akal II, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal III (wujud IV), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan lingkaran langit kedua yang penuh dengan bintang-bintang tetap (al-kawakib as-sabitah).
Akal III, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal IV (wujud V), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit ke tiga temapat beradanya bola Saturnus (kurrat az-zuhal).Akal IV, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal V (wujud VI), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit keempat, tempat beradanya bola juviter (kurrat al-Musytari). Akal V, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal VI (wujud VII),dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit ke lima, tempat beradanya bola Mars (kurrat al-mirrikh). Akal VI, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal VII (wujud VIII), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit keenam, tempat beradanya bola matahari (kurrat asy-syamsi). Akal VII karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal VIII (wujud IX), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit ketujuh, tempat beradanya bola venus (kurrat az-zahrah).
Akal VIII, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal IX, dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit kedelapan, tempat beradanya bola merkuri (kurrat al-Atarid). Akal IX, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal X, dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit kesembilan, tempat berdanya bola Bulan (kurrat al-Qamar). Akal X, karena memikirkan Tuhan dan dirinya, hanya memanncarkan bumi dan jiwa-jiwa yang berada di lingkungan bumi.
Akal I sampai dengan akal X disebut juga oleh al-Farabi: al-asyya’ al-mufarriqh(sesuatu yang terpisah dari materi, atau sesuatu yang materi/rohani, yang pada hakikatnya adalah akal-akal dan sekaligus objek-objek pemikiran). Bagi al-Farabi, para malaikat itu tidak lain dari akal yang sepuluh itu, sedangkan akal X, yang disebutnya juga al-‘aql al-fa’al (akal aktif) adalah Jibril.
D. Filsafat Kenabian Menurut al-Farabi
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri.  Allah berfirman pada Surah an-An-Najm ayat 3-5:
$tBurß,ÏÜZtƒÇ`tã#ÇÌÈuqolù;$#÷bÎ)uqèdžwÎ)ÖÓórur4ÓyrqãƒÇÍȼçmuH©>tã߃Ïx©3uqà)ø9$#ÇÎÈ

Terjemahan:
dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.[15]
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu ”ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.
Selain wahyu, impian juga merupakan alat perhubungan dengan Tuhan karena jiwa yang suci pada waktu tengah tidur naik kealam gaib, dan disana ia melihat rahasia-rahasianya. Nabi saw mulai dakwahnya telah melihat impian-impian, sebagai tanda akan dimulainya tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Begitu penting kedudukan impian, sehingga ada surah di dalam al-Qur’an dimana seluruh pembicaraannya berkisar sekitar impian, yaitu surat Yusuf. Nabi Muhammad saw juga mengatakan tentang impian, impian yang benar merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian[16]
Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.
Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah cerita dan kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu berisikan firman-firman Allah, datangnya langsung dari Allah, melalui perantara Jibril, dan melalui tabir mimpi.[17] Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Ada sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi lebih ke bawah yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun terbangun.
Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan serta bagi al-Farabi nabi adalah hikmah dan filosof yang sebenarnya. Namun kebalikanya tidak benar, ahli hikma dan filosof belum tentu seorang nabi.[18]
Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang dikemukakan A. Hanafi, yang termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori al-Farabi telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya. Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka tentang cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan lain, nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya, melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar.
Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab), sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan dapat berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak mudah diperoleh, sebab setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat yang sebenarnya hanyalah sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu. Boleh jadi menurut pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas mengatakan demikian.
Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa kadang terdengar oleh Nabi seperti bunyi lonceng.[19]Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian ia hubungkan dengan persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia membuat sebuah kesimpulan bahwa Nabi adalah seorang yang mempunyai pribadi shaleh dan mempunyai jiwa untuk memimpin sebuah negeri. 
E. Teori Politik al-Farabi al-Madinah al-Fadhilah
      Uraian mengenai politik terdapat dalam bukunya yang sangat terkenal dan masyhur dengan judul اراء اهل المدينة الفاضلة, "Ara' Ahl al-Madinah al-Fadilah". Teori politiknya ini sangat erat hubungannya dengan filsafat kenabian yang telah diutarakan oleh al-Farabi sebelumnya. Kota, sebagai badan manusia, mempunyai bagian-bagian yang satu dengan yang lain rapat hubungannya dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan. Dalam sebuah kota, kepada masing-masing anggota masyarakat harus diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan masing-masing.
      Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepalalah sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, cinta pada ilmu pengetahuan dan keadilan. Ia harus telah mempunyai akal dalam tingkat ketiga, akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, pengatur bumi kita ini. Dan sebaik-baik kepala ialah Nabi atau Rasul. Kepala yang serupa inilah yang dapat mengadakan peraturan-peraturan yang baik dan berfaedah bagi masyarakat, sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik, dan di dalamnya anggota-anggota dapat memperoleh kesenangan. Tugas kepala negara, bukan hanya mengatur negara tetapi mendidik manusia untuk mempunyai akhlak yang baik.
      al-Farabi membagi lima macam negara yakni المدينة الفاضلة/al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama), المدينة الجاهلية/al-Madinah al-Jahiliyyah (Negara Bodoh), المدينة الفاسقة/al-Madinah al-Fasiqah (Negara Rusak), المدينة المبدلة/al-Madinah al-Mubaddilah (Negara Merosot/Berubah) dan المدينة الضلالة/al-Madinah adh-Dhalalah (Negara Sesat).
       Kemudian lebih lanjut al-Farabi merinci macam-macam negara yang termasuk dalam "negara bodoh", Negara itu yang pertama, bisa berbentuk al-Madinah al-Dharuriyyah (negara kebutuhan dasar) yakni warga negaranya bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia. Kedua, adalah al-Madinah al-Nadzalah (negara jahat), yaitu warga negaranya bekerja sama untuk meraih kejayaan dan kemakmuran berlebihan dan tak mau membelanjakannya kecuali untuk keperluan jasmani. Dilanjutkan dengan tipe ketiga yaitu  negara rendah atau al-Madinah al-Khassah, dimana warganya hanya memburu kesenangan belaka dengan mementingkan hiburan dan hura-hura. Dan  bentuk keempat adalah timokratik (negara kehormatan). Dimana, warga Negara ingin selalu mendapat penghormatan, puji, dan kesenangan di antara bangsa-bangsa lain. “Mereka ingin selalu diistimewakan. Bahkan, status seseorang itu ditentukan oleh kelebihan yang dimilikinya. Dan, negara pun diatur berdasar tingkatan kelebihan mereka.
Negara bodoh kelima yakni al-Madinah al-Taghalub (negara despotik). Bentuk negara ini, sangat buruk karena mereka ingin menguasai orang lain, dan mencegah orang berkuasa atas dirinya. Oleh karena itu, mereka tak segan menumpahkan darah, memperbudak, dan berlaku kasar dan kejam. Bahkan, yang jadi pemimpin adalah orang yang paling bisa menguasai orang lain, paling kuat atau paling licik, dan terakhir negara bodoh versi al-Farabi adalah al-Madinah al-Jama`iyyah (negara demokratik),  tujuan dari warga negara ini adalah kebebasan dan setiap warganya berhak dengan apa saja yang dikehendaki. “Meski bentuk negara terakhir ini masuk kategori bodoh, namun menurut al-Farabi  justru negara ini paling terpuji di atara negara yang bodoh lainnya.[20]
       Negara demokratik atau demokrasi yang selama ini oleh kebanyakan orang dikategorikan sebagai sebaik-sebaiknya bentuk negara ternyata oleh al-Farabi  dimasukkan ke dalam barisan "negara bodoh". Ketika sistem demokrasi digembor-gemborkan sebagai suatu sistem dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ternyata oleh sebagian pemikir-pemikir islam justru dipandang sebagai sistem yang sangat bertentangan dengan islam dan tidak layak untuk diterapkan.   Seperti Abu al-A’la al-Maududi, yang mengatakan bahwa sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi karena di dalam sistem demokrasi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan berada di tangan Allah SWT. Begitupun dengan  Abdul Qadim Zallum yang jelas-jelas mengharamkan sistem demokrasi diterapkan di negara-negara muslim.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah :
1.    Al-Farabi digelar sebagai guru kedua dalam ilmu filsafat, yang merupakan penerus dari guru pertama yaitu Aristoteles.
2.    Menurut al-Farabi,  proses terjadinya alam ini dengan cara emanasi atau pemancaran dari zat Allah yang Esa dan Sempurna.
3.    Bagi al-Farabi, potensi intelek yang dimiliki manusia adalah faktor utama yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan.
4.    Al-Farabi menentang Ar-Razi dan Ar-Rawandi yang keduanya tidak mengakui akan konsep kenabian.
5.    Negara yang baik adalah negara bahagia, al-Farabi menyebutnya al-Madinah al-Fadhilah, yakni bagaikan tubuh manusia yang utuh dan sehat. Semua organ tubuh berfungsi dan bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun sudah berusaha memaparkan dan menjelaskan materi dengan semaksimal mungkin, tapi tidak menutup kemungkinan adanya kekeliruan dalam penyusunannya, baik dari segi materi, maupun penyusunannya, oleh karena itu penyusun mengharapakan sumbangsih pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, dan harapan bagi penyusun, semoga makalah ini dapat memberi manfaat dalam proses pembelajaran sejarah Pemikiran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Aboebakar, Aceh Sejarah Filsafat Islam. Solo: CV. Ramadhani, 1989.
Bagus Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Bakar Hasan, Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah. Beirut: Dar al-Hurriyyah, 1976.
Bakar Osman, Hirarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu: Mizan, 1997.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan TerjemahanyaSurabaya: Duta Ilmu, 2006
Hanafi Ahmad, Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1998.
Larri Lois, The cultural Atlas of Islam diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Atlas Budaya Islam. Bandung: Mizan, 2001.
Mahdi Muhsin, “Alfarabi” Dictionary of Scienctic Biography, ed. C.C. Oillispie New York: 1971.
Nasution Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Rayyah Muhammad Ali Abu, al-Falsafah al-Islamiyah Syakhshiyatuhu wa Maza hibuha, (tt.: MK. Iskandariyat, t.t)
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Tim Ensiklopedi, EnsiklopediTemati Dunia Islam Pemikiran Dan Peradaban (Ichtiar Baru Van Hoeve), 
Yamani, Alfarabi Filosof Politik Muslim. Bandung: Mizan, 2005.
Yunus Abdul Mun'im,A'lam al-Falsafah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Kutub, 1985.


            [1]http://salamsemangat.wordpress.com/2012/11/09/al-farabi-makalah-filsafat-islam/. Diakses pada tanggal 10 oktober 2014
[2]Muhammad Ali Abu Rayyah, al-Falsafah al-Islamiyah Syakhshiyatuhu wa Maza hibuha, (tt.: MK. Iskandariyat, t.t), h.367
[3]Tim Ensiklopedi, EnsiklopediTemati Dunia Islam Pemikiran Dan Peradaban (Ichtiar Baru Van Hoeve),  h.185
[4] Muhsin Mahdi, “Alfarabi” Dictionary of Scienctic Biography, ed. C.C. Oillispie (New York: 1971), h. 523
[5]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam  (Cet II; Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 26
[6]Sudarsono, Filsafat Islam, (Cet II; Jakarta: Rineka Cipta , 1994), h. 21
[7]Lois Larri, The cultural Atlas of Islamditerjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Atlas Budaya Islam (Cet. 111; Bandung: Mizan, 2001), h. 340
[8]Ahmad Hanafi, Filsafat Skolastik ( Cet.X1; Jakarta: Pustaka Alhusna, 1998), h. 63
                [9]Dr. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam  (Cet II; Jakarta: Bulan Bintan, 1978), h. 32
                [10] Abdul  Mun'im  Yunus,  A'lam al-Falsafah al-Islamiyah  (cet I; Kairo: Dar al-Kutub, 1985), h. 64
                [11]Hasan Bakar, Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah  (cet II; Beirut: Dar al-Hurriyyah, 1976),  h. 60
[12] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Cet. 11; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 193
[13] Aboebakar, Aceh Sejarah Filsafat Islam. (Solo: CV. Ramadhani, 1989),h. 55.
[14]Yamani, Alfarabi Filosof Politik Muslim (Cet. ; Bandung; Mizan, 2005), h. 28
[15]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya (Surabaya: Duta Ilmu, 2006), h. 871.
[17]Osman Bakar, Hirarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997). h. 93

[18]Osman Bakar, Hirarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. h. 91
[20]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam  (Cet II; Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 33

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH EVALUASI PENDIDIKAN

KOMUNIKASI DAN KOORDINASI

MATERI PENDIDIKAN ISLAM