IBNU RUSYD
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membicarakan pemikiran Islam, lebih khususnya filsafat
Islam tidak akan lengkap jika tidak mencantumkan nama Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd
adalah seorang filosof yang banyak memberikan kontribusi dalam khasanah dunia
filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari
filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat
mengagumi filsafat Aristoteles.
Ibn Rusyd
adalah model bagi kemandirian akal-fikiran dan sekaligus model bagi keberanian berfikir,
khususnya dalam melawan pemikiran-pemikiran yang telah terlembaga dalam
institusi agama. Keberaniannya dalam mengkritisi kemapanan kekuasaan agama
menginspirasikan orang-orang Eropa pada abad ke-13 dan ke-14 untuk
melakukan hal yang sama kepada kuasa Gereja yang saat itu mendominasi
hampir seluruh aspek kehidupan mereka.
Ibnu Rusyd adalah pemikir yang berusaha menghidupkan
tradisi pemikiran bebas dalam pengertian yang kemudian dikembangkan para
filusuf pencerahan di Eropa. Dampak langsung dari gagasan-gagasan Ibnu Rusyd
dapat ditelusuri pada mazhab pemikiran yang dikenal dengan sebutan “Averoisme.”
Istilah Averoisme mulai digunakan di Eropa pada sekitar tahun 1270, atau
setelah 72 tahun Ibn Rusyd meninggal dunia.
Melalui makalah yang sederhana ini, penulis akan
mencoba membahas tentang Ibnu Rusyd baik dari riwayat hidupnya, pembelaannya
terhadap filosof serta sanggahannya terhadap al-Ghazali, dan Avveroisme
dan Renaissance di Eropa.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.
Bagaimana riwayat hidup Ibnu
Rusyd ?
2.
Bagaimana pembelaan terhadap
filosof dan sanggahannya terhadap Al-Ghazali ?
3.
Bagaimana Avveroisme dan Renaissance di Eropa ?
C.
Tujuan
1.
Untuk menjelaskan riwayat
hidup Ibnu Rusyd.
2.
Untuk menjelaskan pemebelaan
terhadap filosof dan sanggahannya terhadap Al-Ghazali.
3.
Untuk menjelaskan Avveroisme
dan Renaissance di Eropa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Ibnu Rusyd
Abdul Walid Muhammad bin
Ahmad ibn Rusyd, dilahirkan di
Cordova sebuah kota di Andalusia. Ia lahir pada tahun 520 H/1126 M, ia lebih
populer dengan nama Ibnu Rusyd. Ia berasal dari kalangan keluarga besar
yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia
(Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan kakeknya adalah kepala hakim di
Cordova. Ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di
Seville dan Cordova.
Pendidikan awalnya ditempuh di Cordova. Di kota ini ia belajar tafsir,
hadis, fiqih, teologi, sastra Arab, matematika, fisika, astronomi, logika,
filsafat, dan kedokteran. Kota Cordova pada saat itu dikenal sebagai pusat
studi filsafat, saingan kota Damaskus, Baghdad, dan Kairo di timur.[1] Dalam
usia yang masih muda, kecerdasan Ibnu Rusyd telah nampak. Hal ini terbukti
dengan kemampuan menghapal kitab al-Muwatta karangan imam Malik di luar kepala.
Setelah menamatkan pendidikannya, pada tahun 1159 M Ibnu Rusyd dipanggil
gubernur Seville untuk membantu reformasi pendidikan di sana. Pada tahun 1169
M, Ibnu Tufail membawa Ibnu Rusyd ke hadapan sultan yang berpikiran maju dan
memberi perhatian kepada bidang ilmu, yaitu Abu ya’qub Yusuf, yang memberinya
tugas untuk menyeleksi dan mengoreksi berbagai syarah (komentar) dan tafsir
karya-karya Aristoteles, sehingga ungkapan-ungkapannya lebih kena dan bersih
dari banyak cacat, karena keteledoran transkrip maupun kekeliruan para penulis
sejarah dan penafsir lainnya.
Pada tahun 1169 M, Ibnu Rusyd diangkat menjadi hakim di Seville.
Pengangkatan ini berkaitan dengan kemampuannya dalam bidang hukum. Setelah
beberapa lama bertugas di Seville, Ibnu Rusyd diangkat sebagai hakim agung di
Cordova, tahun 1182 M. Namun, beberapa bulan kemudian ia pindah ke Marakesy
untuk menggantikan Ibnu Tufail sebagai
penasihat khalifah.[2]
Pada tahun 1195 M, Ibnu Rusyd di fitnah sehingga ia diasingkan ke
Lucena,kepulauan Atlantik. Kemudian buku-bukunya dibakar di depan umum dan
pemikirannya tentang filsafat dan sains dilarang untuk disebarkan. Hukuman
tersebut tidak berlangsung lama, khalifah segera menarik kembali Ibnu Rusyd dan
mengembalikan nama baiknya. Pada tahun 1198 M, Ibnu Rusyd meninggal di Marakesy
pada usia 72 tahun dan jenazahnya dibawa ke Cordova untuk dimakamkan di sana.
Ibnu Rusyd meninggalkan banyak karya tulis. Ernert Renan yang melacak
karya-karyanya berhasil mengidentifikasi 78 buah judul buku, meliputi 28 buah
dalam bidang filsafat, 20 buah dalam
kedokteran, 5 buah dalam teologi, 8 buah dalam hukum, 4 buah dalam astronomi, 2
buah dalam sastra dan 11 buah dalam ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, Khudori
soleh juga menemukan 117 buah karya Ibnu Rusyd. Semua karya Asli Ibnu Rusyd
ditulis dalam bahasa Arab. Namun, akibat pernah ada pembakaran atas
karya-karyanya pada tahun 1195 M, kebanyakan karya yang sampai pada kita saat
ini hanya dalam bentuk terjemahan bahasa Ibrani dan Latin.
Karya-karya Ibnu Rusyd yang terkenal adalah Bidayat al-Mujtahid
(dalam ilmu fiqh, isinya ialah perbandingan mazhab beserta alasan-alasannya), Faslu
al-Makal Fima Baina Hikmhi Wa as-Syari’ati Min al Tishal (dalam ilmu
teologi isinya ialah adanya persesuaian antara filsafat dengan agama), Munahiju
al-Adillah fi Aqaid Ahli Hikma (dalam ilmu teologi, ilmu kalam dan
kelemahan-kelemahannya), Tahafut at-Tahafut (dalam filsafat Islam dan
teologi, isinya ialah untuk membela filsafat dari serangan al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Filsafat).
B.
Pembelaan terhadap Filosof
dan Sanggahannya terhadap Al-Gazali
Ibnu Rusyd dikenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang
al-Ghazali. Hal ini terlihat dalam bukunya berjudul Tahafut at-Tahafut, yang merupakan reaksi buku al-Ghazali berjudul Tahafut al-Falsafah. Dalam bukunya, Ibnu
Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah
diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles (filsafat
Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Perdebatan panjang antara al-Ghazali
dan Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki
pengikut setia dalam mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam
tersebut.
Ibnu Rusyd terkenal sebagai
pengulas Aristoteles (Comentator), suatu gelar yang diberikan oleh Dante
(1265-1321) dalam bukunya Divina Commedia (Komedi Ketuhanan).[3] Ibnu Rusyd selama
hidupnya berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles apabila dipahami
sebaik-baiknya, maka tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang
bisa dicapai oleh manusia.
Al-Ghazali
dalam bukunya Tahafut al-Falsafah
telah memberikan kritik yang sangat keras terhadap para filosof terkait
pendapat qadimnya alam, masalah pengetahuan Tuhan, dan masalah kebangkitan
jasmani. Sehubungan dengan kritikan tersebut, Ibnu Rusyd tampil membela para
filosof. Pembelaan ini ia tulis dalam bukunya yang berjudul Tahafut at-Tahafut. Dalam buku ini, Ibnu
Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tidak keliru terkait tiga permasalahan
yang dituduhkan al-Ghazali. Berikut tanggapan Ibnu Rusyd al-Ghazali :
1.
Tentang Qadimnya alam
Salah satu persoalan yang menjadi pembahasan dalam filsafat adalah
masalah qadimnya alam. Apakah alam ini bersifat qadim dalam arti tidak berawal
dalam penciptaanya ataukah bersifat baru yakni diciptakan dari tiada. Dalam
sejarah pemikiran filsafat, bahwa alam itu bersifat qadim, sudah lama dikenal. Di kalangan filosof Yunani
seperti Aristoteles berpendapat bahwa alam itu bersifat qadim dalam arti tidak
ada awalnya. Pendapat seperti ini sudah diikuti dan dikembangkan oleh para
pemikir Islam seperti al-Farabi dan Ibnu Sina.
Menurut Ibnu Rusyd bahwa pemikiran al-Ghazali tentang alam itu
diciptakan dari tiada dan mempunyai permulaan mengandung arti bahwa ketika
Tuhan menciptakan alam ini, Tuhan berada dalam kesendirian. Lalu Tuhan
menciptakan alam dari tiada (creatio ex
nihilo). Pemikiran seperti ini menurut ibnu Rusyd tidak sejalan dengan
kandungan al-Qur’an. di dalam al-Qur’an dikatakan bahwa sebelum alam diciptakan
oleh Tuhan, telah ada sesuatu sebelumnya. Misalnya dlam surat Hud ayat 7
dikatakan “dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” Ayat ini memberikan gambaran bahwa ketika Tuhan menciptakan langit
dan bumi telah ada terlebih dahulu disamping Tuhan tahta dan air.
Para filosof memang tidak menerima konsep penciptaan alam dari tiada.
Tiada tidak dapat berubah menjadi ada. Yang terjadi ialah ada dalam bentuk
materi asal yang dirubah oleh Tuhan menjadi bentuk lain, misalnya langit dan
bumi. Oleh karena itu, yang qadim adalah materi asalnya, sedangkan langit dan
bumi adalah baru. Memang terdapat perbedaan pendapat tentang penciptaan ini.
2.
Masalah pengetahuan Tuhan
Para filosof
mempunyai pemikiran bahwa pengetahuan Tuhan bersifat global atau universal,
tidak mencakup rincian. Konsep ini tidak terlepas dari pemahaman bahwa yang
rincian terikat dengan perubahan misalnya perubahan waktu dari segi masa lalu,
masa sekarang dan masa yang akan datang. Serta dari segi tahu misalnya dari
tidak tahu, tahu, dan akan tahu. Bila ilmu Tuhan dikaitkan dengan hal ini, maka
akan menimbulkan konsep bahwa Tuhan mengalami perubahan. Hal ini mustahil bagi
Tuhan. Konsep filosofi seperti ini mendapat kritikan dari al-Ghazali, karena
bagi al-Ghazali Tuhan maha kuasa dan maha mengetahui.
Ibnu Rusyd
mengeritik kembali al-Ghazali dan menganggapnya keliru dalam menilai pemikiran
filosof. Menurut pemikiran filosof Tuhan juga mengetahui rincian. Persoalannya
adalah bagaiman Tuhan mengetahui hal-hal yang rinci. Hal yang rinci berbentuk
materi dan materi dapat ditangkap oleh pancaindra. Sedangkan Tuhan bersifat
immateri dan tidak mempunyai pancaindra.
Mengenai persoalan
ini, menurut Ibnu Rusyd, pemikiran filosof mempunyai arah yang tidak terlepas
dari konsep bahwa pengetahuan Tuhan
tentang rincian yang terdapat dalam alam
ini tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang rincian itu sendiri.
Pengetahuan manusia cenderung mengambil bentuk efek. Sedangkan pengetahuan
Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi terwujudnya rincian tersebut. Apalagi
pengetahuan manusia bersifat baru, sedangkan pengetahuan Tuhan bersifat qadim.
Dengan
demikian, pengetahuan manusia berarti berdasarkan atas data-data masuk lewat
indra. Karena itu, menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan manusia tidak dapat
disamakan dan dibandingkan dengan pengetahuan Tuhan. Pengetahuan manusia
didasarkan pada penilaian rasio atas realitas sehingga ia bisa berubah atas
perubahan objek, sementara pengetahuan Tuhan justru sebaliknya.[4]
3.
Masalah kebangkitan jasmani
Al Ghazali di dalam bukunya Tahafut al-Falsafah telah menggugat dan para filosof yang mengingkari
kebangkitan jasad manusia. Menurutnya, ini bertentangan dengan aqidah umat
Islam. Ayat-ayat al-Qur’an juga dengan tegas menyatakan bahwa manusia akan
merasakan kenikmatan jasmani di surga, atau kesengsaraan jasmani di neraka.
Menanggapi vonis Imam Al Ghazali ini, Ibnu
Rusyd mengatakan bahwa tidak semua filosof mengingkari kebangkitan. Hanya saja
mereka yang meyakini adanya kebangkitan terbagi dua, ada yang mengatakan kebangkitan hanya dalam bentuk rohani,
yang lainnya mengatakan rohani dan jasmani.
Ibnu Rusyd sendiri lebih condong pada
pendapat pertama. Sebab jasad manusia yang ada di dunia telah hancur lebur, dan
tidak mungkin dapat dikembalikan lagi seperti semula. Namun ia juga tidak
menafikan adanya kemungkinan jasad dan rohani dibangkitkan secara bersamaan.
Jika pun itu terjadi, jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia,
melainkan jasad yang baru.
Di sisi lain, Ibn Rusyd menilai adanya pertentangan pendapat
al
Ghazali dalam masalah kebangkitan. Di dalam Tahafut al-Falsafah ia mengatakan bahwa kebangkitan terjadi dalam bentuk jasad
dan ruh secara bersamaan. Tetapi pada kesempatan lain di buku yang berbeda ia
mengatakan bahwa kebangkitan bagi kaum sufi hanya terjadi dalam bentuk rohani
saja, tanpa jasmani. Sejarah menunjukkan bahwa al
Ghazali di penghujung hayatnya sebagai seorang sufi. Dengan demikian ia dinilai
telah membatalkan gugatannya terhadap para filosof.
C.
Avveroisme dan Renaissance di Eropa
1. Avveroisme
Kritik al-Ghazali terhadap para
filosof ini membuat orang di dunia Islam bagian Timur dengan Baghdad sebagai
pusat pemikiran menjauhi filsafat. Sebaliknya, di dunia Islam bagian Barat yaitu
Andalusia atau Spanyol Islam, pemikiran filsafat masih berkembang. Maka, secara
berangsur-angsur kekayaan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah
Timur beralih ke wilayah Barat.
Pemikiran Ibnu Rusyd masuk ke Barat
melalui gerakan penerjemahan karya-karyanya. Ibnu Rusyd begitu berpengaruh bagi
orang-orang Kristen Eropa karena dikenal sebagai komentator Aristoteles yang
membawa semangat rasional dan pencerahan bagi mereka. Mereka menerjemahkan
karya-karya Ibnu Rusyd ke dalam bahasa Ibrani dan Latin.
Meluasnya ketertarikan pada
pemikiran Ibnu Rusyd memunculkan gerakan filosofis yang dikenal Averroisme. Tokoh
yang paling berpengaruh dalam Averroisme adalah Zeger van Brabant (sekitar
1240-1284). Zeger ialah seorang professor di Universitas Paris yang mengajar
tafsir pemikiran Aristoteles dengan menggunakan hasil karya Aristoteles dan
filsuf Muslim lainnya, Avicenna.[5]
Munculnya gerakan dan aliran Averroisme ini sejatinya adalah
lompatan besar dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa, khususnya
dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebab sebelumnya Eropa kosong dari
ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka
satu-satunya sumber kebenaran hanyalah Gereja Kristen. Tetapi dengan
adanya aliran Averriosme ini maka bangsa Eropa mulai mengalami kemajuan.
Para pemimpin Kristen mengganggap
hal ini sebagai ancaman. Mereka berupaya membatasi persebaran karya-karya Ibnu
Rusyd. Pada abad ke-13, gereja Katolik melakukan beberapa usaha untuk melarang
peredaran karya-karya Ibnu Rusyd. Tahun 1210, studi tentang komentar-komentar
Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles dilarang di Paris. Tapi sejalan dengan
perkembangan kota Paris menjadi salah satu pusat intelektual utama di dunia,
maka banyak orang yang mengabaikan larangan tersebut. Tahun 1277, Etienne
Tempier, Uskup Paris, dengan dorongan Paus Yohanes XXI, melancarkan serangan
lain terhadap karya-karya Ibnu Rusyd.[6]
Ibnu Rusyd juga diserang oleh Thomas
Aquinas (1224-1274), filsuf Kristen terkemuka dan ahli teologi Zaman
Pertengahan.[7] Pada
tahun 1270 Thomas Aquinas menulis De
Unitate Intellectus Contra Averroistas (Mengenai Persatuan Intelektual Melawan
Golongan Avverois) dimana dia mengkritik filsafat Ibnu Rusyd dan
pengikutnya. Kritik Thomas Aquinas dan cercaan Gereja Katolik memperlambat
perkembangan Averroisme di Paris. Popularitas Ibnu Rusyd juga terhapus Karena
Aquinas menugaskan Willem van Moerbeke menerjemahkan karya-karya Aristoteles
langsung ke bahasa latin. Sehingga banyak yang kemudian lebih suka menggunakan
versi terjemahan Willem.
2. Renaissance
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas
Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan
kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M.
berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan
Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin.[8]
Istilah Renaissance berasal dari
bahasa Latin “renaitre” yang berarti hidup kembali atau hidup kembali. Dalam
pengertian yang lebih spesifik Renaissance diartikan sebagai suatu periode sejarah di
mana perkembangan kebudayaan Barat memasuki periode
baru dalam semua aspek kehidupan manusia, seperti ilmu-ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dalam semua cabang, perkembangan sistem kepercayaan, perkembangan
sistem politik, institusional, bentuk-bentuk sistem kepercayaan yang baru dan
lain-lain.
Renaissance merupakan titik awal dari
sebuah peradaban modern di Eropa. Essensi dari semangat Renaissance salah
satunya adalah pandangan manusia bukan hanya memikirkan nasib di akhirat
seperti semangat Abad Tengah, tetapi mereka harus memikirkan hidupnya di dunia
ini. Renaissance menjadikan manusia lahir ke dunia untuk mengolah,
menyempurnakan dan menikmati dunia ini baru setelah itu menengadah ke surga.
Nasib manusia di tangan manusia, penderitaan, kesengsaraan dan kenistaan di
dunia bukanlah takdir melainkan suatu keadaan yang dapat diperbaiki dan diatasi
oleh kekuatan manusia dengan akal budi, otonomi dan bakat-bakatnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa :
1. Nama Ibnu Rusyd adalah Abdul
Walid Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd, dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalusia. Ia lahir pada tahun 520
H/1126 M dan meninggal pada tahun 1198
M. karyanya yang terkenal adalah Tahafut at-Tahafut.
2. Ibnu Rusyd terkenal sebagai
pengulas Aristoteles (Comentator).
Ketika al-Ghazali mengkritik para filosof dalam bukunya Tahfut al-Falsafah,
Ibnu Rusyd tampil membela para filosof dengan bukunya Tahafut at-Tahafut.
3. Pengaruh Ibnu Rusyd membuat
timbulnya gerakan Averroisme dan Renaissance di Eropa sebagai awal bangkitnya
dunia barat.
B.
Implikasi
Sebagai manusia biasa yang
memiliki keterbatasan, penulis mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun
dari semua pihak, termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan
tulisan dan pengetahuan penulis. Apalagi penulis yakin bahwa makalah ini masih
sangat jauh dari standar sebuah karya ilmiah.
Inilah usaha dan kerja keras
penulis dalam mencari, mempelajari, dan menulis tentang Ibnu Rusyd.
Akhirnya penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat kepada para pembaca
terlebih lagi bagi pribadi penulis dan mendapat kebaikan serta petunjuk dari
Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat
Islam. Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1996.
Rusyd, Ibn. Tahafut at-Tahafut. Terj.,
khalifurahman Fath. Thahafut at-Tahafut.
Yogyakarta : pustaka Pelajar. 2004.
Saleh, Marhaeni. Konsep Iman dan Kufur Menurut al-Ghazali dan
Ibn Rusyd. Makassar : Alauddin University Press. 2011.
Soleh, Khudori. Filsafat Islam : Dari Klasik Hingga
Kontemporer. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. 2013.
Sonneborn, Liz. Averroes (Ibnu Rushd) : Muslim Scholar,
Philosopher, and Physican of the Twelfth Century. terj. Muhammad Abe, Averroes (Ibnu Rusyd) : Filsuf dan Ilmuwan
Muslim Abad ke-12. Jakarta : Muara. 2013.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta : PT. Rineka
Cipta. 1997.
Syarif. Para Filosof Muslim. Bandung : Penerbit Mizan. 1994.
Wijaya, Aksin. Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd :
Kritik Ideologis-Hermeneutis. Yogyakarta : LKiS. 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta : Rajawali Pers. 2014.
[1] Khudori Soleh,
Filsafat Islam : Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jogjakarta : Ar-Ruzz
Media, 2013), h. 154.
[2] Khudori Soleh,
Filsafat Islam : Dari Klasik Hingga Kontemporer, h. 155.
[3] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam (Jakarta : PT. Bulan
Bintang, 1996), h. 166.
[5] Liz
Sonneborn, Averroes (Ibnu Rushd) : Muslim
Scholar, Philosopher, and Physican of the Twelfth Century, terj. Muhammad
Abe, Averroes (Ibnu Rusyd) : Filsuf dan
Ilmuwan Muslim Abad ke-12 (Jakarta : Muara, 2013), h. 109.
[6] Liz
Sonneborn, Averroes (Ibnu Rushd) : Muslim
Scholar, Philosopher, and Physican of the Twelfth Century, terj. Muhammad
Abe, Averroes (Ibnu Rusyd) : Filsuf dan Ilmuwan
Muslim Abad ke-12, h. 110.
Komentar
Posting Komentar