PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan
saja, oleh karena itu, ia harus diinternalisasikan melalui proses pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada
perbaikan sikap mental dan diharapkan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi
keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari sisi lain, ajaran Islam berisi
ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan
hidup perorangan dan bersama, oleh karena itu pendidikan Islam adalah
pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.[1]
Dalam pendidikan terdapat interaksi dua individu yang masing-masing
memiliki kemampuan dan karakteristik sendiri. Sesungguhnya dalam proses
interaksi, kedua pihak harus saling memahami dan saling menyesuaikan diri dalam
interaksi pendidikan Islam karena pendidik sebagai orang yang lebih dewasa,
lebih berpengalaman, berpengetahuan, banyak menguasai nilai, dan mempunyai
tanggung jawab mendidik, maka pendidiklah yang harus lebih berusaha memahami
kemampuan dan karakteristik peserta
didik, lebih berusaha memberikan layanan, dorongan, bantuan, dan bimbingan
kepada peserta didik.
Kata pendidik bukan hanya ditujukan kepada seorang guru, tetapi kepada
orang tua juga yang sangat memegang peranan penting dalam mendidik anak-anaknya
sebelum guru di sekolah. Anak yang saleh
dan cerdas adalah dambaan setiap orang. Saat di dunia mereka menjadi permata
hati yang melipur segala lara, dan kala di akhirat kelak mereka adalah teman yang
menyenangkan di dalam surga. Jika seseorang menginginkan yang seperti itu, maka uluran
tangan dari orang tua, guru dan masyarakat sangat diharapkan untuk memberikan
santapan pendidikan Islam yang mantap terhadap si anak agar tidak berperilaku
menyimpang.
Dalam kehidupan sehari-hari,
tentu tidak asing bila kita mendengar kisah-kisah sedih seorang anak yang
membuat orang tuanya harus berlinang air mata siang dan malam, karena ia
terjerat narkoba, ataupun tidak memiliki kemauan belajar serta masa depan yang
suram dan kegagalan membayangi hari-harinya. Melihat kenyataan seperti ini,
tentu muncul pertanyaan, mengapa hal ini dapat terjadi? salah satu hal yang
dapat dipikirkan bersama, yaitu bagaimanakah peran orang tua, guru, dan
masyarakat sebagai pendidik dalam sepanjang hidup anak tersebut? Karena itu
dalam makalah ini akan dibahas tugas pendidik dalam pendidikan Islam dan
hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, yang menjadi fokus masalah
dalam pembahasan ini adalah:
1.
Bagaimana
pendidik dalam pendidikan Islam?
2.
Bagaimana
tugas pendidik dalam pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidik dalam Pendidikan Islam
Dari segi bahasa, pendidik, sebagaimana dijelaskan oleh WJS.
Poerwadarminta adalah orang yang mendidik.[2]
Dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan
pendidik, seperti teacher yang diartikan guru atau pengajar dan tutor
yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar di rumah. Selanjutnya
dalam bahasa Arab dijumpai kata ustadz,mudarris, mu’allim, dan mu’addib.[3]
Secara umum pendidik diartikan sebagai orang yang memikul
pertanggungjawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan
kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan peserta didik. Secara sederhana
pendidik adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Sedangkan dalam pandangan masyarakat, pendidik adalah orang yang melaksanakan
pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal,
tetapi juga di masjid, surau atau mushallah, rumah, dan sebagainya.[4]
Umar Tirtarahardja mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pendidik
ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan
sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga
lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang
tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat atau
organisasi.[5]
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi
pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya,
agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat
kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah
Allah swt. dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk
individu yang mandiri.[6]
Dari beberapa pengertian “pendidik” di atas, jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, maka
pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang-orang
yang diberikan amanat untuk memberikan seperangkat pendidikan, pengetahuan,
pengalaman dan keterampilan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam terhadap
orang lain.
B. Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam
Tugas pendidik dalam pandangan Islam secara umum ialah mendidik,
yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi
psikomotor, kognitif, maupun potensi afektif.[7]
Dari definisi pendidik dalam pendidikan Islam yang telah dibahas
sebelumnya, maka sudah jelas bahwa pendidik bukan hanya dari kalangan guru akan
tetapi pendidik dalam pendidikan yaitu orang tua, guru, dan masyarakat yang
memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing.
a.
Orang
tua sebagai pendidik pertama dan utama
Apabila
pendidik dilihat dalam konteks yang luas, maka tugas pendidik bukan hanya di
sekolah (madrasah) tetapi dapat juga melaksanakan tugasnya di rumah tangga.
Ahmad Tafsir menyatakan bahwa tugas mendidik di rumah tangga dapat dilaksanakan
dengan muda, karena Allah swt. telah menciptakan landasannya, yaitu adanya rasa
cinta orang tua terhadap anaknya yang merupakan salah satu dari fitrahnya.[8]
Rasa cinta terlihat misalnya dalam Q.S. al-Kahfi/18:46 dan Q.S. al-Furqan/25:74.
ãA$yJø9$# tbqãZt6ø9$#ur èpuZÎ Ío4quysø9$# $u÷R9$# (
àM»uÉ)»t7ø9$#ur àM»ysÎ=»¢Á9$# îöyz yZÏã y7În/u $\/#uqrO îöyzur WxtBr& ÇÍÏÈ
Terjemahnya:
Harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi
saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.
tûïÏ%©!$#ur cqä9qà)t $oY/u ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurør& $oYÏG»Íhèur no§è% &úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur úüÉ)FßJù=Ï9 $·B$tBÎ) ÇÐÍÈ
Terjemahnya:
Dan orang orang
yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa anak itu
bagaikan harta dan perhiasan dalam kehidupan serta anugrah terindah dari Allah
swt. untuk orang tua, anak adalah titipan ilahi yang harus
dipertanggungjawabkan nanti di hadapan-Nya. Oleh karenanya orang tua memiliki
tanggung jawab penuh terhadap anaknya.
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Orang tualah yang akan memberi warna terhadap anak-anaknya, karena anak yang
baru lahir dari rahim seorang ibu layaknya kertas putih yang siap menerima
goresan apapun dari orang tuanya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. Sebagai
berikut:
حدثنا
ابن ابى ذئب عن الزهرى عن ابى سلمة بن عبد الرحمن عن ابى هريرة رضى الله عنه قال,
قال النبي صلى الله عليه وسلم: كل مولو د يولد على االفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه[9]
Artinya:
Setiap anak yang lahir, dilahirkan dalam
keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikannya bangsa yahudi atau
nasrani atau majusi. (Bukhari)
Dari hadis tersebut telah jelas bahwa orang
tualah yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya di rumah agar menjadi anak
yang shaleh dan shalehah, berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, agama, dan
negara serta menjadi pemimpin yang ideal di masa yang akan datang.
Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib
dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah
kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan
bagi anak-anak dalam rumah tangga. Tuhan memerintahkan agar setiap orang tua menjaga keluarganya dari siksa neraka:[10]
(#þqè%… ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur
…#Y$tR
Terjemahnya:
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka[11]
Ayat
tersebut mengingatkan kepada orang-orang yang beriman, bahwa semata-mata
beriman saja belumlah cukup. Iman harus dipelihara, dibina, dan dipupuk dengan
cara menjaga keselamatan diri dan keluarga dari api neraka.
Begitu
pentingnya peranan yang harus dimainkan oleh keluarga dalam mendidik, maka
dalam berbagai sumber bacaan mengenai kependidikan, keluarga selalu disinggung
dan diberi peran yang penting. Ki Hajar Dewantara, misalnya mengatakan bahwa
alam keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan.
Pendidikan di situ pertama kalinya bersifat pendidikan dari orang tua yang
berkedudukan sebagai guru (penuntun), sebagai pengajar dan sebagai pemimpin
pekerjaan (pemberi contoh).[12]
Sebagai
pendidik pertama dan utama terhadap anak-anaknya, orang tua tidak selamaya
memiliki waktu yang leluasa dalam mendidik anak-anaknya. Selain karena
kesibukan kerja, tingkat efektivitas, dan efesiensi pendidikan, tidak akan baik
jika pendidikan hanya dikelola secara alamiah di lingkungan keluarga saja.
Dalam konteks ini, anak lazimnya dimasukkan ke lembaga sekolah.
Kunci
keberhasilan pendidikan agama di sekolah bukan terutama terletak pada metode
pendidikan agama yang digunakan dan penguasaan bahan; kunci pendidikan agama di
sekolah sebenarnya terletak pada pendidikan agama dalam rumah tangga.[13]
Karena itu penyerahan peserta didik ke lembaga sekolah bukan berarti melepaskan
tanggung jawab orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orang
tua tetap mempunyai saham yang besar dalam membina dan mendidik anaknya.
Demikian juga ketika anak mengikuti pendidikan di lingkungan masyarakat,
seperti pelatihan, kursus dan sejenisnya, maka orang tua tetap berkewajiban
mengontrol dan memperhatikan anaknya.
b.
Guru
Selanjutnya
beberapa literature kependidikan pada umunya, istilah pendidik sering diwakili
oleh istilah guru. Istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh Hadari Nawawi
adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah/kelas.
Secara lebih khusus lagi, ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja
dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggungjawab dalam
membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.[14]
Dalam paradigma jawa, pendidik diidentikkan dengan guru (gu dan
ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya)
karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki
wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini.[15]
Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang
karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh
peserta didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar
transformasi ilmu, tapi juga mampu menginternalisasikan ilmunya pada peserta
didiknya. Pada tataran ini terjadi sinkronisasi antara yang diucapkan oleh guru
(didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukannya (dilihat oleh peserta
didik).
Abuddin Nata mengemukakan secara sederhana tugas pendidik adalah
mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat pengetahuannya,
semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya.
Sedangkan tugas pokok pendidik adalah mendidik dan mengajar. Mendidik ternyata
tidak semudah mengajar.[16]
Dalam proses pembelajaran pendidik harus mampu mengilhami peserta didik melalui
proses pembelajaran yang dilakukan pendidik sehingga mampu memotivasi peserta
didik mengemukakan gagasan-gagasan yang besar. Dalam konteks mengajar, pendidik mesti
menyadari bahwa setiap mata pelajaran mestinya membawa dan mengandung unsur
pendidikan dan pengajaran. Unsur pendidikan, dimaknai dapat membina dan menempa
karakter pendidik agar berjiwa jujur, bekerja secara cermat dan sistematik.
Sedangkan unsur pengajaran dimaknai untuk memberikan pemahaman kepada peserta
didik kepada setiap mata pelajaran yang diterimanya.
Secara khusus,
bila dilihat tugas guru pendidikan agama (Islam) adalah di samping harus dapat
memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama, juga diharapkan dapat
membangun jiwa dan karakter keberagamaan yang dibangun melalui pengajaran agama
tersebut. Artinya tugas pokok guru agama menurut Abuddin Nata adalah menanamkan
ideologi Islam yang sesunggunya pada jiwa anak.[17]
Pada uraian yang lebih jelas Abuddin Nata lebih merinci bahwa tugas pokok guru
(pendidik) adalah mengajar dan mendidik. Mengajar disini mengacu kepada
pemberian pengetahuan (transfer of knowledge) dan melatih keterampilan
dalam melakukan sesuatu, sedangkan mendidik mengacu pada upaya membina
kepribadian dan karakter si anak dengan nilai-nilai tertentu, sehingga
nilai-nilai tersebut mewarnai kehidupannya dalam bentuk perilaku dan pola hidup
sebagai manusia yang berakhlak.
Berkaitan
dengan pendidikan ilmiah ini, hal yang utama harus dikembangkan oleh pendidik
adalah pengembangan akal peserta didik. Dengan melakukan hal demikian peserta
didik dapat mengembangkan akalnya secara maksimal. Sehingga tokoh pendidik
Padang, Abdullah Ahmad menjelaskan bahwa sesungguhnya akal merupakan nikmat
Allah yang terbesar kepada manusia.[18]
Manusia sebagai pendidik akan memberikan pemahaman pemikiran yang terintegral
dalam proses pembelajaran, sehingga pendidik merasa bertanggungjawab untuk
mengembangkan akal peserta didik sebagai konsekuensi pekerjaannya.[19]
Pada sisi yang
berbeda, pendidik bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai
pembimbing, pelatih bahkan pencipta perilaku peserta didik.[20]
Dalam tugasnya sehari-hari yang menjadi fokus utama pendidik mesti melingkupi
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, karena ke depan tugas pendidik
semakin kompleks, sehingga diharapkan pendidik untuk bekerja lebih keras dengan
tekun dan loyalitas untuk menciptakan dan mengembangkan sumber daya manusia
sebagaimana yang tercantum dalam UUD guru dan dosen pada ayat 2 pasal 4 bahwa
yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agen)
adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu,
perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.[21]
Dalam
mengajarkan Pendidikan Agama Islam, tugas pendidik menurut Malik Fadjar adalah
menanamkan rasa dan amalan hidup beragama bagi peserta didiknya. Dalam hal ini
yang dituntut adalah bagaimana setiap pendidik agama mampu membawa peserta
didik untuk menjadikan agamanya sebagai landasan moral, etik dan spritual dalam
kehidupan kesehariannya.[22]
Dari uraian di
atas dapat dirumuskan bahwa tugas pendidik adalah melaksanakan proses
pembelajaran yang terintegrasi dalam kegiatan mendidik, mengajar dan melatih
sehingga terlaksananya empat pilar pendidikan yakni belajar mengetahui (learning
to know), belajar berbuat (learning to do), belajar menjadi
seseorang (learning to be), dan belajar hidup bermasyarakat (learning
to live together).[23]
Agar pendidik
dapat melaksanakan tugasnya, sebagai pendidik mesti mempunyai sifat
profesionalisme. Abuddin Nata menjelaskan bahwa sifat profesionalisme itu dapat
dilihat dari ciri-ciri: (a) mengandung unsur pengabdian, di mana pendidik mesti
dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat, pelayanan
dapat berupa pelayanan individu, dan bersifat kolektif. (b) mengandung unsur
idealisme, di mana bekerja sebagai pendidik bukan semata-mata mencari nafkah,
tetapi mengajar merupakan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, meringankan
beban penderitaan manusia. (c) mengandung unsur pengembangan, di sini maknanya
adalah pendidik mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang
mendasari pengabdiannya secara terus menerus.[24]
Di samping
pendidik memiliki sifat profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya, dalam era
globalisasi sekarang yang serba kompleks, pendidik harus melakukan hal-hal
sebagai berikut: pertama, diperlukan adanya kegiatan orientasi secara
periodik antar pendidik, kedua, mengarahkan penataran dan penyetaraan
yang sedang berlaku kepada pengembangan wawasan dan bukan semata pada hal-hal
yang bersifat teknis, seperti hanya berkisar pada persoalan instruksionalnya tetapi
lebih jauh dari itu adalah yang bersifat penalaran konsepsional, ketiga,
ada baiknya buku paket untuk pendidik, karena keterbatan pendidik memiliki
sumber belajar dan informasi.[25]
Dalam perkembangan berikutnya, paradigma pendidik tidak hanya
bertugas sebagai pengajar, yang mendoktrin peserta didiknya untuk menguasai
seperangkat pengetahuan dan skill tertentu. Pendidik hanya bertugas
sebagai motivator dan fasilitator dalam proses pembelajaran. Keaktifan sangat
tergantung pada peserta didiknya sendiri, sekalipun keaktifan itu akibat dari
motivasi dan pemberian fasilitas dari pendidiknya. Seorang pendidik dituntut
mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini
menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik bisa
menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga Negara, dan
pendidik sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan
menurut proporsinya.
c.
Masyarakat
Masyarakat
turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Secara sederhana masyarakat
dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh
kesatuan Negara, kebudayaan, dan agama. Oleh karena itu masyarakat besar
pengaruhnya dalam member arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin
masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya.
Tatkala
berbicara tentang masyarakat erat kaitannya dengan pemimpin. Di pundak pemimpin
juga terpikul tanggung jawab dalam pembentukan kepribadian muslim terhadap
anak, pemimpin harus memikirkan penyelenggaraan pendidikan yang bisa mengantarkan
anak ke arah yang lebih baik sebagaimana dalam Q.S. ali-Imran/3:28
w ÉÏGt tbqãZÏB÷sßJø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# uä!$uÏ9÷rr& `ÏB Èbrß tûüÏZÏB÷sßJø9$# (
Terjemahnya:
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Kebutuhan
manusia yang diperlukan dari masyarakat tidak hanya yang menyangkut bidang
material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan,
pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat ditarik suatu
pemahaman bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan manusia memerlukan
adanya lingkungan sosial masyarakat.[26]
Masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan,
memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang
mungkar di mana tanggung jawab manusia melebihi perbuatan-perbuatannya yang
khas, perasaannya, pikiran-pikirannya, keputusan-keputusannya, dan maksud-maksudnya,
sehingga mencakup masyarakat tempat ia hidup dan alam sekitar yang
mengelilinginya.[27]
Sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. Ali Imran/3:104
`ä3tFø9ur
öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt
n<Î)
Îösø:$# tbrããBù'tur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/
tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$#
4
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$#
ÇÊÉÍÈ
Terjemahnya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.
merekalah orang-orang yang beruntung.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan masyarakat
terlalu banyak karakter yang nantinya akan menjadi warna bagi orang lain. Orang
yang hidup di tengah-tengah orang-orang yang endingnya baik sedikit banyaknya
akan berpengaruh terhadap orang lain, begitu juga dengan sebaliknya masyarakat
yang terdiri atas orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri dan
sebagainya akan berpengaruh jelek terhadap orang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pengertian
pendidik dalam pendidikan Islam
Pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang yang punya tanggung
jawab dalam memberikan pendidikan, pengalaman, dan pengetahuan kepada orang
lain dalam rangka memperbaiki perilaku anak, agar bisa tampil sebagai orang
mukmin dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik dalam hal ini bukan hanya
ditujukan kepada guru akan tetapi pendidik tersebut mencakup tiga komponen
yaitu orang tua, guru, dan masyarakat.
2.
Tugas
pendidik dalam pendidikan Islam
Pendidik
dalam pendidikan Islam yaitu orang rua, guru, dan masyarakat adalah tumpuan seorang
anak dalam pengembangan pribadi sejak dini. Orang tua sebagai pendidik pertama
dan utama terhadap anak harus mampu membekali anak dengan moral yang baik,
selanjutnya dididik oleh guru di sekolah dengan berbagai macam metode yang
kemudian berbaur dengan masyarakat yang nantinya juga akan memberi warna kepada
anak.,
DAFTAR PUSTAKA
Zakiah
Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. VII; Jakarta: PT Bumi Aksara,
2008
Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997
http://www.
google, Konsep Pendidik dalam Pendidikan Islam (Kamis 15 Maret 2012).
Umar
Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan Edisi Revisi Cet.
I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005
Suryosubrata
B., Beberapa Aspek Dasar Kependidikan Jakarta: Bina Aksara, 1983
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam, Cet. VI; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2005
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam Cet.
V; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari Juz I. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th
Departemen
Agama RI, al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 2002
Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Jakarta:
Grasindo, 2001
Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan Dr.
H. Abdullah Ahmad, Padang: Syamsa Offset, 1999
Khalil Abu al-‘Ainin, Falsafah
al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim t.tp: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1980
Ahmad Barizi, Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 188-189.
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam Jakarta:
Fadjar Dunia, 1999
Rumusan empat pilar pendidikan dapat dilihat
dalam Jacques Delors, et.al., Learning The Treasure Within France: Unesco Publishing, 1996
Ahmad Barizi, Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005.
[1]Zakiah Daradjat,
dkk. Ilmu Pendidikan Islam (Cet.
VII; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 28.
[2]Abuddin Nata. Filsafat
Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 61.
[3]Ibid
[5]Umar Tirtarahardja
dan S. L. La Sulo. Pengantar Pendidikan Edisi Revisi (Cet. I; Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2005), h. 54.
[6]Suryosubrata B.
Beberapa Aspek Dasar Kependidikan (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 26.
[7]Ahmad Tafsir. Ilmu
Pendidikan dalam Persfektif Islam (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005), h. 74.
[8]Ahmad Tafsir. Metodologi Pengajaran Agama Islam (Cet. V; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 135-136.
[9]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Juz I. (Indonesia:
Maktabah Dahlan, t.th), h. 532
[10]Ahmad Tafsir. op.cit.,
h.160.
[11]Departemen
Agama RI. al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 2002), h. 820.
[12]Abubiddin Nata.
op.cit., h. 115.
[13]Ahmad Tafsir. op.cit.,
h.158.
[14] Abuddin Nata. op.cit.,
h. 62.
[15]Abdul Mujib dan
Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h. 90.
[18]Amirsyahruddin. Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan Dr.
H. Abdullah Ahmad (Padang: Syamsa Offset, 1999), h.
35.
[19]Khalil Abu al-‘Ainin. Falsafah al-Tarbiyah
al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim (t.tp: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1980), h. 167.
[20]Ahmad Barizi. Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 188-189.
[21]Abd. Rahman
Getteng. Menuju Guru Profesional dan Beretika (Cet. II; Yogyakarta:
Penerbit Graha Guru, 2009), h.146
[23]Rumusan empat pilar pendidikan dapat dilihat dalam Jacques Delors. et.al., Learning The Treasure Within (France: Unesco Publishing, 1996), h. 86-97.
[25]Ahmad Barizi. Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 193-194.
[26]Abubiddin Nata.
op.cit., h. 120.
[27]Zakiah
Daradjat. op.cit., h. 46.
Komentar
Posting Komentar