DINASTI BANI UMAYYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemerintahan
Bani}> Umayyah dinisbahkan kepada Umayyah ibn Abdi al-Syams ibn Abdi Mana>f. Dia adalah salah seorang tokoh penting di tengah Qurai}>sy pada masa jahiliyah. Dia dan pamannya Hasyi}>m bin Abdi Mana>f selalu
bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.[1]
Mu’awiyah,
pendiri Dinasti Bani}> Umayyah
adalah anak Abu Sufya>n. Ia memperoleh kekuasaan, tetapi kecuali di Syria dan Mesir. Ia memerintah
semata-mata dengan pedang. Di dalam dirinya digabungkan sifat-sifat seorang
penguasa, politikus dan administrator.[2]
Tentu saja, Mu’awiyah tidak menampilkan dirinya sebagai orang yang mengakhiri era
agama. Ia menggelari dirinya sendiri dengan khali}>fahdan mengaku melanjutkan misi besar yang sama seperti
pendahulunya.[3]Pada
realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Mu’awiyah karena
keberhasilannya dalam perang Siffi}>ndicapai melalui arbitrase yang curang. Ia juga
dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam.
Dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menjadi monarkhi.
Masa
pemerintahan Bani}> Umayyah terkenal
sebagai suatu era agresif karena banyak kebijakan politiknya yang bertumpu
kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya dalam jangka 90 tahun,
banyak bangsa yang masuk ke dalam kekuasaannya. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan,
Uzbekistan dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol.
Namun
demikian, Bani}> Umayyah
banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial,
kebudayaan, seni sastra maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi.
Dalam bidang yang terakhir ini, Bani Umayyah mencetak uang, mendirikan pos-pos
dan tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di
sepanjang jalan beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
Meskipun
pemerintahan dilaksanakan secara monarkhi, kemajuan demi kemajuan
berhasil diraih di masa Dinasti Bani}> Umayyah. Akan tetapi, keberhasilan-keberhasilan
tersebut tidak dapat mencegah keruntuhannya.
B.
Rumusan dan
Batasan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa masalah pembahasan sebagai
berikut:
1. Bagaimana perkembangan administrasi pada masa Dinasti Bani}> Umayyah?
2. Bagaimana perkembangan ekonomi pada masa Dinasti Bani}> Umayyah?
3.
Bagaimana perkembangan Sastra dan Ilmu
Pengetahuan pada masa Dinasti Bani}> Umayyah?
4.
Bagaimana Kemunduran dan Kehancuran Dinasti
Bani}> Umayyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Administrasi pada Masa Dinasti Bani
Umayyah
Mu’awiyah terkenal sebagai penguasa yang kuat
dan menguasai ilmu administrasi serta memiliki kecakapan dalam berdiplomasi,
sehingga mampu membujuk pendirian orang-orang moderat sekalipun golongan
oposisinya.[4]
Dengan kelebihan-kelebihan inilah Mu’awiyah
mampu melakukan perubahan dalam bidang kemiliteran dengan membentuk barisan
pengawal raja serta tingkat kewaspadaannya juga lebih tinggi. Hal ini terlihat
pada inisiatif membuat tempat khusus sebagai tempat pengamanan ketika melakukan
shalat di masjid. Dan beliau juga pertama kali melakukan pengiriman dokumen
atau surat-surat dengan memakai materi, yang dalam pengirimannya di buat pos-pos
untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan kuda. Setiap pos disediakan
kuda yang siap digunakan meneruskan kiriman sampai pada tujuan.[5]Sistem yang
dilakukan Mu’awiyah ini mempunyai kemiripan dengan sistem administrasi yang dilakukan
sekarang di negara Indonesia.
Dalam riwayat lain sistem administrasi pemerintahan Mu’awiyah lebih rinci
lagi, dimana Ia membentuk dan mengangkat petugas-petugas sebagai berikut:
- Al-Ka>ti}b, yang akan mengurus administrasi Dinasti Bani> Umayyah secara baik dan rapih guna mewujudkan kepentingan negara (Dinasti). Yang dibagi kepada lima ka>ti}b, yaitu:
- Ka>ti}b al-Rasa>i}l (sekretaris negara)
- Ka>ti}b al-Kharra (sekretaris pendapatan negara/pajak)
- Ka>ti}b al-Jundi}> (sekretaris militer)
- Ka>ti}b al-Syurtah (sekretaris kepolisian)
- Ka>ti}b al-Qa>d (panitera)
- Al-Ha>ji}b, dengan maksud untuk menertibkan para tamu yang akan berhubungan dengan khalifah baik rakyat biasa maupun pembesar lainnya guna menghindari bahaya yang dapat membahayakan khalifah. Ide ini muncul ketika peristiwa percobaan pembunuhan atas Mu’awiyah dari kaum Khawa>rij. Sehingga bila ingin menemui khalifah harus menghadap kepada ha>ji}b selaku protokoler atau pengawal istana di zaman sekarang ini. Kecuali tiga orang yaitu:
- Al-Muazzin, yang akan memperingatkan kepada khalifah tentang masuknya waktu shalat.
- Al-Bari}>d, untuk menyampaikan berita-berita penting.
- Sa>li}>b al-Ta’a>m (seksi konsumsi) yang akan mengurus segala kebutuhan makanan di istana.[6]
- Al-Di}wa>n, meskipun kata al-di}wa>n ini mempunyai makna yang luas, karena bisa berarti ”divan” (Inggris) yang berarti ”dipan” (Indonesia).[7]
Yang bermakna tempat duduk untuk melakukan aktifitas atau kursi panjang.[8]
Namun al-Di}wa>n yang dimaksudkan disini adalah sesuatu lembaga atau
departemen atau wadah kementrian yang akan mengurusi kepentingan pemerintahan Bani> Umayyah.[9]
Yang dibagi kepada tujuh di}wa>n, yaitu:
- Di}wa>n al-Kharr’(Departemen Pajak), yang ditugaskan untuk mengawasi keuangan.[10]
- Di}wa>nal-Rasa>i}>l (Pos Giro), yang ditugaskan untuk mempertanggungjawabkan masalah surat-menyurat khalifah, baik penerimaan, pengiriman maupun penyimpanannya (arsiparis). Di dalam lembaga ini dibagi kepada dua bagian yaitu:
1.
Bagian yang berbahasa Arab
2.
Bagian yang berbahasa Yunani dan Persia.
- Di}wa>n al-Ira>da>t atau al-Musytagala>t, lembaga ini bertugas mengurusi berbagai macam masalah perpajakan dan pengadaan barang.
- Di}wa>nTira>z, mengurus pemberian raja mulai pengadaan bahan baku sampai kepada kualitas dan modalnya.
- Di}wa>n al-Kha>tam(Departemen Kha>tam). Lembaga ini menyimpan atau menginpentarisasi dari beberapa keputusan raja dan yang perlu dikirim akan diteruskan oleh lembaga ini sampai kepada tujuan.
- Di}wa>n al-Bari}>d(Kantor Pos) mempercepat pengiriman berita-berita dan maksud raja kepada seluruh wilayah kerajaan.
- Di}wa>n al-Syurtah, suatu lembaga yang diserahi tugas untuk mempertanggung jawabkan segala bentuk gangguan yang bisa menimbulkan kerawanan sehingga mengancam stabilitas keamanan masyarakat dan negara.
Meskipun rezim Mu’awiyah pada dasarnya adalah keluarga penguasa dan
militernya serta suku-sukunya bernaung dibawahnya, sekelompok elite kecil
memerintah sebuah imperium besar yang desentralis, sementara itu khalifah
berusaha keras menegakkan sentralisasi kekuasaan pemerintah. Abd al-Ma>lik dan al-Wali}>d menyusun peralihan pejabat-pejabat pajak dari
orang-orang yang berbahasa Yunani dan Syria kepada orang-orang yang berbahasa
Arab. Catatan-catatan ringkas, penyalinan dan laporan sekarang muncul dalam
bahasa Arab. Perubahan ini berlangsung di Iraq pada 697 M, di Syria dan Mesir
pada 700 M, setelah beberapa tahun berlangsung di Khurasan. Selanjutnya
Khalifah mengadakan pengorganisasian keuangan berbagai daerah.[11]
Pada masa Khalifah Umar bin Abd al-Azi}>z (717-720 M), Khalifah mengusulkan sebuah
revisi yang penting mengenai aturan dan beberapa prinsip perpajakan untuk
menghilangkan ketidakseragaman yang lebih besar dan demi persamaan. Khalifah Hisya>m (724-743 M) berusaha menerapkan kebijakan Umar II di wilayah Khurasan,
Mesir dan Mesopotamia. Administrasi Umayyah juga mulai mengembangkan sebuah
identitas organisasional. Pada dekade pertama imperium Arab, hal-hal yang
berkenaan dengan administrasi diselenggarakan oleh orang-orang yang berbahasa
Yunani dan Persia yang merupakan warisan dari imperium sebelumnya. Sekalipun
demikian, pada sekitar tahun 700 M, sebuah generasi baru dari klien-klien Arab
yang mencapai kekuasaan berpengaruh, sekalipun mereka telah dididik menjadi
pegawai dan agar setia kepada Khalifah. Kelompok elit dari kalangan ahli tulis
dan keturunannya memperkuat tulang punggung kesektariatan imperium Arab Muslim
sampai abad kesepuluh.[12]
Sejalan dengan perkembangan administrasi ini, kehidupan istana
kekhalifaan juga diorganisir. Hari-hari di mana Mu’awiyah dikerumuni oleh
tokoh-tokoh Arab telah berakhir. Sekarang seorang pembantu istana mendampingi
pengunjung dalam rangka penertiban kesibukan sehari-hari. Pegawai-pegawai
administrasi, pejabat sekretaris raja, para pengawal dan juru tulis mengerumuni
raja sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan tokoh-tokoh Arab sebelumnya.
Pos-pos penting dalam pemerintahan masih dijabat oleh tokoh-tokoh Arab, tetapi
aktivitas pemerintahan masih dijabat oleh dewan tokoh-tokoh Arab, melainkan
bergantung kepada pejabat-pejabat profesional. Dari pemerintahan patriarkal,
khalifah telah beralih menuju sebuah pemerintahan kerajaan.[13]
Dimensi administrasi dan militer Umayyah masa akhir dibentengi dengan
sebuah kebijakan ideologi baru. Perubahan bahasa administrasi dari bahasa
Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab dimulai oleh Abd al-Ma>lik. Orang-orang bukan Arab pada waktu itu mulai pandai berbahasa Arab.
Untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, terutama
pengetahuan pemeluk-pemeluk Islam baru dari bangsa-bangsa bukan Arab, perubahan
kepada bahasa Arab, terutama tata bahasanya mulai diperhatikan.[14]
Pada masa pemerintahan Abd al-M>alik, untuk pertama kalinya Khalifah mencetak
mata uang logam sendiri menggantikan mata uang Byzantium dan Sasania. Mata uang
Arab yang baru ini menghilangkan simbolisme Kristen dan Zoroastrian dan
memperkenalkan model koin terbuat dari emas dan perak bertuliskan huruf Arab
sebagai simbol kedaulatan negara, dan kemerdekaan dari kesamaan kedudukan
dengan beberapa imperium yang terdahulu. Lebih dari itu, negara juga menandai
kedaulatannya dengan mendirikan sejumlah bangunan monumental. Pada masa
pemerintahan Abd al-Ma>lik, Yerussalem ditunjuk sebagai kota suci
bagi umat Islam dan Mesjid Kuba Batu (Kubbah al-Sahra atau The Dome
of Rock) dibangun pada tanah peribadatan umat Yahudi kuno. Pada masa
pemerintahan al-Wali}>d, dibangun beberapa mesjid baru di Madinah dan
Damaskus. Hiasan pada mesjid-mesjid tersebut melambangkan kejayaan bangsa Arab
dan menjadi bukti pengabdian negara kepada agama. Mereka melambangkan keagungan
negara dan sangat besar artinya bagi komunitas Muslim.[15]
B. Perkembangan Ekonomi pada Masa Dinasti Bani
Umayyah
Kemajuan di bidang ekonomi pada masa
kedaulatan Bani}> Umayyah
cukup tersohor juga di mata dunia Islam pada masanya, karena bias dan upaya
ekspansi yang dilancarkan dalam kurun waktu sembilan dasa warsa, dari permulaan
abad ketujuh hingga awal abad kedelapan mampu mengintegrasikan dari beberapa
daerah menjadi wilayah kekuasaannya yaitu dunia Islam yang terbentang luas dari
Asia Tengah ke Samudera Hindia, dari Afrika (Sudan) sampai ke wilayah barat
(yaitu: Afrika utara dan Spanyol) serta wilayah Persia Selatan. Yang nota
benenya, meliputi daerah-daerah bekas kekaisaran Sasaniah (Persia), imperium di
Santium, di Syiria dan Mesir daerah orang-orang Barbar di Mediterania (Afrika
Utara dan Spanyol). Daerah-daerah ini merupakan salah satu jaringan yang sangat
penting dalam dunia perdagangan internasional, rute utamanya terbentang antara
Cina dan Spanyol, serta antara Afrika Hitam dengan Asia Tengah. Dengan demikian
Dinasti Bani}> Umayyah
mudah membentuk kawasan ekonomi secara terpadu.[16]
Pada masa Bani}> Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang
luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu
memungkinkannya untuk mengekploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka
juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke dunia Islam. Penggunaan tenaga
kerja inimembuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas
pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri
tersebut, seperti Mesir, Syria dan Iraq. Tetapi bukan hanya eksploitasi yang
bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani}> Umayyah, tetapi ada juga usaha untuk
memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan gubernur Iraq
yang saat itu dijabat oleh al-Hajja>j bin Yu>suf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran
air dari sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan dan memperbaiki
sistem ukuran timban, takaran dan keuangan. Selain itu, pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abdual-Azi}>z, Dia berusaha memperbaiki segala tatanan
yang ada dimasa kekhalifahanya, seperti menaikkan gaji untuk para gubernurnya,
memeratakan kemakmuran dan memberi santunan kepada para fakir dan miskin serta
memperbaharui dinas pos. Ia juga menyamakan kedudukan orang-orang non Arab yang
menempati kedudukan sebagai warga negara kelas dua dengan orang-orang Arab. Ia
mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang yang baru masuk Islam.[17]
Kebijakan paling strategis pada masa Bani}> Umayyah
adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abd
al-Ma>lik. Dia
mengubah mata uang asing yang sebelumnya dipakai yaitu mata uang Byzantium dan
Persia seperti di}>na>r (denarius)
dan dirham (Persia: diram, Yunani: drachme). Sebagai pengganti
dari mata uang asing ini, Abd al-Ma>lik mencetak mata uang sendiri di tahun 659
M, dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Dinar dibuat dari emas dan dirham
dari perak.[18]
Dan juga telah melangkah kepada bidang
perindustrian yang diawali dengan pendirian pabrik-pabrik kain yang diawasi
oleh Sa>hi}>b al-Tira>s.[19]
C. Perkembangan
Sastra dan Ilmu Pengetahuan pada Masa Bani Umayyah
Pada waktu Bani}> Umayyah berkuasa,
daerah Islam telah membentang ke berbagai negara yang barada di benua Asia, Afrika, dan Eropa. Masuknya
kekuatan Islam sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan sosial budaya
masyarakat. Sebab Islam tidak mematikan perkembangan kreatifitas masyarakatnya,
bahkan memberikan dorongan yang kuat untuk mengembangkan kemampuan yang mereka
miliki, selagi upaya itu tidak menyimpang dari norma dan kaidah Islam.
Akulturasi
kebudayaan lokal dengan
kebudayaan yang dibawa Islam,menghasilkan peradaban yang luar biasa hebatnya.
Hal itu dapat dilihat misalnya, bagaimana perkembangan seni budaya, seperti
seni sastra, seni ukir, seni suara, seni bangunan dan seni pahat yang bernuansa
Islami, dapat berkembang dengan baik.
Diantara kemajuan
yang dicapai pada masa pemerintahan Dinasti Bani}>Umayyah adalah sastra. Seni sastra
berkembang dengan pesatnya, hingga mampu menerobos ke dalam jiwa manusia dan
berkedudukan tinggi di dalam masyarakat dan negara, Sehingga syair yang muncul senantiasa sering menonjolkan
dari sastranya, di samping isinya yang sangat bermutu tinggi.[20]
Kota Basrah dan Kufah padaa zaman itu merupakan pusat perkembangan
ilmu dan sastra (adab). Di kedua kota itu orang-orang Arab muslim bertukar
pikiran dalam diskusi-diskusi ilmiah dengan bangsa-bangsa yang telah mengalami
kemajuan terlebih dahulu. Dikota itu pula banyak kaum muslimin yang aktif
menyusun dan menuangkan karya mereka dalam berbagai bidang ilmu. Dengan
demikian maka berkembanglah ilmu tata bahasa (Nahu S{araf), dan ilmu balaghah. Oleh karena itu, lahirlah para penyair
terkenal, antara lain ialah:[21]
a.
Nu’ma>nibnBasyi}>r al-Ansha>ri}>, wafat tahun 65 H.
b.
Ibn Mafragh al-Hami}>ri}>, wafat tahun 69 H.
c.
Miskin al-Da>rami}>, wafat tahun 90 H.
d.
Al-Akhtha>l, wafat tahun 95 H.
e.
Jari}>r, wafat tahun 111 H.
f.
Abu Aswad
al-Du’aly, wafat tahun 69 H.
g.
Al-Farazda>q, wafat tahun 90 H.
h.
Al-Ra>i}>, wafat tahun 90 H.
i.
Abu al-Najam al-Ra>ji}>r, wafat tahun 130 H
j.
Abu al-Abba>s al-A’ma>.
k.
A’sya Rabi}>’ah, wafat tahun 85 H.
Pada masa itu, orang-orang dari Dinasti
Bani}> Umayyah
masih tetap setia memegang tradisi sastra padang pasir, dimana para penyair
masih menduduki tempat terhormat seperti pada masa sebelum Islam dan awal
kebangkitan Islam. Penyair-penyair yang hidup pada zaman Dinasti Bani}> Umayyah tidak hanya berlomba-lomba menulis kasidah
seperti pada masa sebelum Islam baik dari sudut bentuk-bentuk puisi, atau
tema-tema, mereka juga merupakan tokoh-tokoh masyarakat baik sebagai penyokong
kerajaan ataupun sebagai penentang kerajaan yang vokal. Secara keseluruhan,
puisi lebih banyak menggambarkan hal-hal yang bersifat duniawi daripada
kerohanian dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Puisi-puisi yang
berkembang pada zaman Dinasti Bani}>Umayyah lebih mencerminkan semangat paganisme padang
pasir daripada lingkungan Islam dan hidup perkotaan. Tema cinta dengan segala
liku-likunya telah ditampilkan dengan baik oleh tiga sejoli penyaiir cinta,
yaitu Majnu>n dan Layla>, Jami}>l dan Buthayna>, Kuhthayyiri}> dan Azza>. Puisi-puisi erotik mencapai puncak
perkembangannya pada Umar bin Rabi}>’ah.[22]
Tidak dapat
dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah merupakan
pemerintahan yang penuh dengan kegoncangan, terjadi pertikaian politik yang
hebat antara Dinasti Umayyah dengan
musuh-musuhnya, pemberontakan terhadap penguasa mulai merajalela, pada periode
ini pula mulai tumbuh dan berkembang dengan pesat beberapa firqah(kelompok) dalam Islam seperti Syi>’ah, Khawa>rij, Murjiah dan
sebagainya, sehingga perkembangan sastra pada fase-fase tertentu periode ini
cenderung diwarnai oleh nuansa politis dimana masing masing firqah (kelompok) berlomba-lomba membuahkan produk sastra demi mendukung
pemikiran mereka.
Di antara
sastra yang popular pada waktu itu, yaitu:
1. Khutbah al-Batra’ Ziya>d bin Abi}>hi kepada Penduduk Basrah
2. Surat Abd al-Hami}>dal-Ka>tib kepada Para Penulis
3. Pujian dan Permohonan Jari}>r bin Utaibah kepada Umar bin Abd al-Azi}>z.
Selain itu,
untuk mendorong perkembangan ilmu pengetahuan pada masa pemerintahan
Dinasti
Bani Umayyah, dilakukan dengan jalan memberikan motivasi atau dorongan yang
dilakukan oleh para khalifah. Para khalifah Dinasti Bani umayyah selalu
memberikan hadiah cukup besar bagi para ulama, ilmuan, serta para
seniman yang berprestasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan disediakan anggaran oleh negara. Itulah
sebabnya ilmu pengetahuan
berkembang dengan pesatnya.
Pusat penyebaran ilmu
pengatahuan pada waktu itu terdapat di masjid-masjid. Di masjid-masjid itulah
terdapat kelompok belajar dengan masing-masing
gurunya yang mengajar ilmu agama dan umum. Sebagai contoh Abdullah bin al-Abba>s mengajar ilmu tafsir di Masjid Haram di Mekkah dan al-Shadi}>q mengajar ilmu Kimia di Masjid Madinah. Ilmu pengetahuan agama yang
berkembang pada masa itu, antara lain ialah, ilmu Qira’a>t, tafsir, hadis, Fiqh, Nahu, Balaghah dan lain-lain.[23]
Diantara
para pelopor ilmu qira’at itu adalah Abdulla>h bin al-Katsi}>r, wafat tahun 120 H di Mekkah, Ashim bin Abi}>al-Nuju>d, wafat tahun 118 H di Ku>fah.
Kemudian ilmu tafsir pada masa pemerintahan
Dinasti Bani}> Umayyah
belum mengalami perkembangan pesat sebagaimana yang terjadi pada masa
pemerintahan Daulah Abba>siyah. Tafsir berkembang dari lisan ke lisan sampai akhirnya tertulis. Ahli
Tafsir pertama pada masa itu ialah Ibnu al-Abba>s, salah seorang sahabat Nabi yang terkenal, ia wafat
tahun 68 H.
Adapun
perkembangan ilmu hadis, terjadi setelah ditemukan banyak penyimpangan dan
penyelewengan dalam meriwayatkan sebuah hadis, atau setelah diketahui banyaknya
hadis-hadis palsu yang dibuat oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik.
Untuk itulah dirasakan adanya keperluan untuk menyusun buku hadis. Diantara
para ahli hadis (Muhaddis) yang terkenal pada masa Dinas Bani}> Umayyah ialah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin
Ubaidillah bin Abdullah bin Syiha>b al-Zuhri}>, wafat
tahun 123 H.
Selama
periode kekuasaan Dinasti Bani}>Umayyah, dua kota Hija>z, Mekah dan Madinah, menjadi tempat berkembangnya musik, lagu, dan puisi.
Sementara itu, kota kembar di Irak, Basrah yang menjadi pusat pemerintahan Khurasa>n semasa Dinasti Umayyah, dan Kufah yang merupakan bekas pemerintahan
Ali, berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam.[24]
Di dua kota besar Irak ini, kajian ilmiah tentang bahasa dan tata bahasa Arab
telah dimulai, dan dilakukan terutama oleh, dan untuk para muallaf. Motif
awalnya adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk Islam
baru yang ingin mempelajari al-Qur’a>n.
Oleh
karena itu, bukan suatu kebetulan jika perintis tata bahasa Arab legendaris,
Abu al-Aswad al-Du’ali}> (wafat 688
H), berasal dari Baghdad. Kepeloporan al-Du’ali}> diikuti kemudian oleh al-Khali}>l ibn Ahmad, seorang ulama Bashrah lainnya, yang
meninggal sekitar 786 H. Pada sosok al-Khali}>l inilah, orang pertama yang menyusun kamus bahasa
Arab.
Ringkasnya,
dalam bidang ilmu pengetahuan, di masa Dinasti Bani}> Umayyah, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu
pengetahuan agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kimia,
kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu pasti, ilmu bumi, dan sejarah. Kota yang
menjadi pusat kajian ilmu pengetahuan antara lain adalah Damaskus, Kufah,
Mekah, Madinah, Mesir, Cordova, Granada.[25]
D. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Bani Umayyah
Kebesaran yang
telah diraih oleh Dinasti Bani
Umayyah ternyata
tidak mampu menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya
tekanan dari pihak luar. Adapun hal-hal yang membawa kejatuhan Dinasti Bani Umayyah dapat di
identifikasikan antara lain sebagai berikut[26]:
1.
Sistem pergantian khalifah melalui garis
keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan
aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian
khalifah ini meyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan
anggota keluarga istana.[27]
2.
Pertentangan
keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
Arab Utara yang disebut Muda>riyah yang menempati Irak dan Arab Selatan (Himya>riyah) yang berdiam di wilayah
Suriah. Di Zaman Umayyah persaingan
antar etnis itu mencapai puncaknya karena khalifah cenderung kepada satu pihak
dan menafikan yang lainnya.
3.
Ketidak puasan
sejumlah pemeluk Islam non Arab (Maw>ali) ditengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat
fasilitas dari penguasa Dinasti Bani}>Umayyah. Seperti
tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil
dibandingkan tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
4.
Latar belakang
terbentuknya kedaulatan Dinasti Bani}> Umayyah tidak
dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik kaum Syi}>’ah
dan Khawa>rij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan
sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan Umayyah.
5.
Lemahnya
pemerintahan Dinasti Bani}> Umayyah juga
disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak
khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi
kekuasaan.[28]
6.
Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani}>
Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abba>s ibn al-Muthali}>b. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Ha>syi}>m dan
golongan Syi}>’ah, dan kaum Mawa>li yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani}> Umayyah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dinasti Bani}> Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufya>n, Dinasti ini berkuasa selama
kurang lebih 90 tahun(dari 41 H/661 M sampai dengan 132 H/750 M).
2. Pada masa pemerintahan Dinasti
Bani}>Umayyah, banyak kemajuan yang
dicapai, baik dari segi politik, administrasi, sosial, ekonomi, sastra, dan
ilmu pengetahuan.
3. Semua kemajuan yang diperoleh
tidak dapat mencegah kehancurannya yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Dari semenjak berdirinya,
Dinasti bani}> Umayyah telah menghadapi
tantang-tantangan.
b. Tantangan keras yang akhirnya
membawa kemunduran dan keruntuhan Dinasti Bani}> Umayyah datang dari pihak
golongan Syi}>’ah dan Khawa>rij.
c. Adanya pola hidup mewah
dilingkungan istana.
d. Pertentangan etnis antara suku
Arabia Utara (Bani}> Qays) dan Arabiah Selatan
(Bani}> Kalb) yang sudah ada sejak
zaman sebelum Islam.
e. Penyebab langsung tergulingnya
kekuasaan Dinasti Bani}> Umayyah adalah munculnya
kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abba>s ibn al-Muthali}>b yang kemudian mendirikan Dinasti Abbasiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Ansa>ry, Tami}>m, A History of the World through Islamic
Eyes, Terj. Yuliani Liputo, Dari
Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam, Cet. I, Jakarta: Zaman, 2010.
Bakka, Muhammad al-Khuda>ri}>, Al-Daulah al-Umawiyyah, Cet. I, Kairo:
Muassasah al-Mukhta>r, 2003.
Hasan, Hasan Ibrahim , Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Cet. II; Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Hitti, Philip K, History of The Arabs, Cet I, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2008.
Ibn al-Khaldu>n, Abd al-Rahman,Mukaddimah
al-Ta>ri}>kh Ibn al-Khaldu>n, Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1981.
Lapidus, Ira. M, A History of Islamic Societies, Terj. Ghufran A.
Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam Cet. I, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab (Cet. 2, Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1999.
Na>sir, Sayyid Mahmu>d, Islam: Its Concepts and History, Terj.
Adang Affandi, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, Cet. IV, Bandung, PT.
Remaja Rosdakarya, 1994.
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Cet. V,
Jakarta: UI-Press, 1985.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, Edi. V, Jakarta: UI-Press, 1993.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Al-‘Usya>ry, Ahmad, Al-T>ari}>kh al-isla>mi{>, Terj. Samson Rahman, Sejarah Islam, Cet. V,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007.
Willy, Markus, Darsyah, M. Dikhie, Kamus Inggris Indonesia-Indonesia Inggris, Cet.
I; Surabaya: Arkala, 1997.
[1]Ahmad al-‘Usyari}>, Al-Tari>kh
al-Isla>m, Terj. Samson Rahman, Sejarah Islam, (Cet. 5, Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2007), h. 181.
[2]Sayyi}>d Mahmu>d
Na>sir, Islam: Its Concepts and History, Terj. Adang Affandi, Islam:
Konsepsi dan Sejarahnya, (Cet. 4, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 1994),
h. 203.
[3]Tami}>m Ansa>ry, A
History of the World through Islamic Eyes, Terj. Yuliani Liputo, Dari Puncak Bagdad;
Sejarah Dunia Versi Islam, (Cet. 1, Jakarta: Zaman, 2010), h. 127.
[4]Hasan Ibrahim Hasan., Sejarah dan
Kebudayaan Islam I, (Cet. II; Jakarta:
Kalam Mulia, 2006), h. 67.
[5]Ibid.h. 67.
[6]Abd. al-Rahm>an Ibn al-Khaldu>n, Muqaddimah Ta>ri}>kh Ibn al- Khaldu>n, (Beirut: Da>r al-Fikri, 1981),
h. 296.
[7]Markus Willy,
M. Dikhie Darsyah, Kamus
Inggris Indonesia-Indonesia Inggris, (Cet. I; Surabaya: Arkala, 1997), h. 118.
[8]Tim Penyusun Pusat Pembinaan & Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka,
1995), h. 207.
[9]Hasan Ibrahim Hasan., Sejarah
dan Kebudayaan Islam I. h. 75.
[10]Ibid.h. 75.
[11]Ira. M. Lapidus, A
History of Islamic Societies, Terj. Ghufran A. Mas’adi, Sejarah Sosial
Umat Islam (Cetakan I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h.91.
[14]Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Cet. 5, Jakarta: UI-Press, 1985), h. 63.
[15]Ira. M. Lapidus, A
History of Islamic Societies, Terj. Ghufran A. Mas’adi, Sejarah Sosial
Umat Islam, h. 93.
[16]Tim Penyusun Text Book Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid. I; (Ujung
Pandang: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam IAIN Alaudin, 1981/1982), h. 137.
[22]Anwar G. Chejne, The Arabic
Language; Its Role in Histori. Diterjemahkan
oleh Aliudin Mahjudin, Bahasa Arab dan
Peranannya Dalam Sejarah (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h. 71.
[24]Philip K. Hitti, History
of The Arabs (Cet I, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 301.
[27]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Cet. 9, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 48.
[28]Umar al-Iskandari}> dan al-Mira>j Safdaj, al-Ta>ri}>kh al-Isla>mi}> (
Cet. I, Gontor: Percetakan Darussalam, 2002), h. 5.
Komentar
Posting Komentar