Musyawarah dalam Pengambilan Keputusan
MUSYAWARAH
A.
Konsep Musyawarah
Kata
musyawarah terambil dari kata (شور ) syawara
yang pada mulanya bermakna
“mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat diambil / dikeluarkan dari yang lain (
termasuk pendapat). Orang yang
bermusyawarah bagaikan orang yang minum
madu.[1]
Dari
makna dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri dari
peserta dan pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa kebaikan.
Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sangat disiplin, solid
dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal- hal yang baik saja ( disimbolkan
dengan kembang), serta tidak melakukan gangguan
apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengan catatan ia tidak diganggu.
Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Sedangkan isi atau pendapat
musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan hanya manis
tapi juga menjadi obat dan karenanya menjadi
sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari
musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal- hal yang
baik- baik saja. Adaput ayat tentang perintah bermusyawarah antara lain QS. ali-Imran (3) : 159
فَبِمَا
رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ
مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ
فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
١٥٩
Terjamahnya:
Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekeliling.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan maksudnya : urusan peperangan dan
hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan
lain-lainnya.kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal-lah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya[2]
Perintah
bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang
uhud. Ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya
untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam
perjalanan dari Mekah ke Madinah. Nabi cenderung bertahan di kota Madinah, dan
tidak keluar menghadapi musuh yang datang dari mekah. Sahabat-sahabat beliau,
terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum muslim, dibawah
pimpinan Nabi Muhammad saw keluar menghadapi musuh.
Pendapat
mereka itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi,
peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat yang jumlahnya tidak kurang
dari tujuh puluh orang. Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis
yang dialami Nabi dan sahabat beliau amat perlu digaris bawahi untuk melihat
bagaimana pandangan Al-Quran tentang musyawarah.[3]
Ayat
ini seakan-akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan
dan dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang mereka putuskan keliru.
Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan dapat menjadi tanggung jawab
bersama,dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan
pendapatnya sekalipun.
Dari
ayat tersebut dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah melakukan
musyawarah:
1. Sikap lemah lembut. Seseorang yang
melakukan musyawarah, apalagi pemimpin
harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru.
Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak akan berjalan baik,
kalau peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam.
3. Memiliki hubungan yang harmonis dengan
Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan dengan permohonan ampunan kepada- Nya.
Itulah sebabnya yang harus mengiringi musyawarah adalah
permohonan maghfiroh dan ampunan Ilahi.
4. Setelah selesai semuanya harus
diserahkan kepada Allah, bertawakkal.[4]
Kata
Syura, tidak asing lagi jika berbicara
tentang musyawarah. Syura, sebenarnya adalah suatu forum, dimana setiap orang
mempunyai kemungkinan untuk terlibat dalam urun rembuk, tukar pikiran,
membentuk pendapat, dan memcahkan suatu persoalan bersama.[5]
Musyawarah
adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan bersama dengan
maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Bermusyawarah artinya
berunding atau berembuk. Sedangkan permusyawaratan berarti berunding. Sehingga
jelaslah bahwa permusyawaratan dalam sila keempat Pancasila merupakan
perundingan dalam rangka pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai
keputusan terhadap suatu masalah yang menyangkut orang banyak.[6]
Bahkan
Islam sebagai rahmatan lil’alamin tidak membatasi keterlibatan non Islam dalam
menyumbangkan sarannya untuk memcahkan masalah. Karena musyawarah dalam Islam
bersifat inklusif.
Dengan
demikian, esensi musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada anggota
masyarakat yang memiliki kemamapuan dan hak untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum atau
kebijaksanaan politik.[7]
Musyawarah
adalah cara merumuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak orang banyak. Artinya
pengambilan suatu keputusan berdasarkan kehendak orang banyak sehingga
kebulatan berpendapat tercapai, suatu keputusan tidak harus berdasarkan
kemenangan atas dasar suara terbanyak. Akan tetapi sutu keputusan diutamakan
kebulatan pendapat yang berdasarkan atas kata sepakat atau mufakat.[8]
Dalam
sususnan kemasyarakatan, prinsip muyawarah ditegakkan sesuai dengan azas hukum
yang mendasari sistem demokrasi. Tetapi musyawarah itu sendiri tidak terikat
oleh komunitas yang sifatnya masih (pemerintahan atau kenegaraan) saja, ia
menyentuh segala aspek yang menyangkut kepentingan bersama, bukan masalah yang
telah menjadi ketetapan Tuhan. Karena persoalan persoalan yang telah ada
petunjukannya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui nabi-Nya,
tidak dapat dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukab pada hal-hal yang belum
ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoalan kehidupan duniawi baik yang
bersifat global maupun tampa petunjuk yang mengalami perkembangan dan
perubahan.
B. Pengambilan
keputasan dalam musyawarah
Kepemimpinan
merupakan sebuah Fenomena universal. Siapa pun melaksanakan tugas-tugas
kepemimpinan, manakalah dalam tugas itu dia berinteraksi dengan orang lain.
Maka dalam kapasitas pribadi pun, yang pada intinya memfasilitasi seseorang
untuk dapat memimpin dirinya sendiri. Oleh karena kepemimpinan itu merupakan
sebuah fenomena yang kompleks, maka amat sukar untuk membuat rumusan yang
menyeluruh tentang arti kepemimpinan. Oleh karenanya, tidak ada satu defenisi
kepemimpinan pun dapat dirumuskan secara singkat lengkap untuk mengabstaksikan prilaku sosial atau
prilaku interaktif manusia di dalam organisasi yang memiliki regulasi dan
struktur tertentu, serta misi yang kompleks.
Untuk
mendapatkan gambaran tentang kepemimpinan, berikut ini dikemukakan beberapa
definisi kepemimpinan menurut beberapa ahli. D.E.Mc. Farland mengemukakan bahwa
kepemimpinan adalah suatu proses di mana pimpinan dilukiskan akan memberikan
perintah atau pengaruh, bimbingan atau peroses mempengaruhi pekerjaan orang
lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. J.M. Pfifner
mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah seni menkoordinasi dan memberi arah
kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diiginkan. Oteng
Sutisna mengemukakan bahwa kepemimpina adalah mengambil inisiatif dalam situasi
sosial untuk mencapai bentuk dan prosedur baru, merancang dan mengatur
perbuatan, dengan berbuar begitu membangkitkan kerja sama ke arah tercapainya
tujuan. Penulis buku ini mendefinisikan kepemimpinan adalah setiap tindakan
yang dilakukan oleh individu atau kelompuk untuk menkoordinasi dan memberi arah
kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.[9]
Seorang
pemimpin haruslah orang-orang yang berilmu, berakal sehat, memiliki kecerdasan,
kearifan, kemampuan fisik dan mental untuk dapat mengendalikan roda
kepemimpinan dan memikul tanggungjawab. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nisa (5) : 83.
وَإِذَا
جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ
رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ
يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ
لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ إِلَّا قَلِيلٗا ٨٣
Terjahmnya:
Dan apabila datang kepada mereka suatu
berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan ulil Amri) kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu).[10]
Maksud
ayat di atas adalah kalau mereka menyerahkan informasi tentang keamanan atau
ketakutan itu kepada Rasulullah Saw apabila bersama mereka, atau kepada
pemimpin-pemimpin mereka yang beriman, niscaya akan diketahui hakikatnya oleh
orang-orang yang mampu menganalisis hakikat itu dan menggalinya dari
celah-celah informasi yang saling bertentangan dan tumpang tindih.[11]
Kesempurnaan
manusia sebagai ciptaan Allah sejalan dengan beratnya beban yang harus
ditanggung di dunia ini. Allah menciptakan manusia beserta kesempurnaanya untuk
menjadi khalifah di
muka bumi. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2)
: 30
وَإِذۡ
قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ
قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ
نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا
تَعۡلَمُونَ ٣٠
Terjamahnya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat : “sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifa di muka
bumi” .Mereka berkata : “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifa) di bumi ini
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan dara, padahal
kami senang tiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman : “sesunggunya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.[12]
Sepanjang
zaman manusia membutuhkan kehadiran pemimpin, yang dapat dianggap mewakili
aspirasi masyrakat, pemimpin dapat memperjuangkan kepentingan anggota, dan
pemimpin dapat mewujutkan harapan sebagian besar orang. Selain beberapa faktor
yang mendasari lahirnya pemimpin, pada kenyataan pemimpin mempunyai kecerdasan
dan wawasan yang luas dibandingkan dengan rata-rata pengikutnya, sehingga wajar
kehadiran seorang pemimpin sangat dirindukan untuk mengatasi berbagai masalah
yang dihadapi oleh angota masyarakat.
Dalam
usaha untuk mencapai harapan, pemimpin menggunakan kemampuan dan kecerdasanya
dengan memanfaatkan lingkungan dan potensi yang ada pada organisasi. Dengan
kata lain pemimpin berusaha melibatkan anggota organisasi untuk mencapai tujuan.
Kemampuan untuk mengarahkan, dan mempengaruhi angota organisasi sebagai upaya
untuk mencapi tujuan organisasi sebagai wujud kepemimpinannya.[13]
Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan
proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu perbedaan pendapat antara pemimpin
yang satu dengan yang lainnya. G. R. Terry, membagi tipe-tipe kepemimpinan
menjadi 6, yaitu:
1. Tipe kepemimpinan
pribadi (personal leadership). Dalam
sistem kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan
mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung
dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.
2. Tipe kepemimpinan non
pribadi (non personal leadership). Segala
sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non
pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.
3. TIpe kepemimpinan
otoriter (autoritotian leadership).
Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib.
Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan
instruksi-instruksinya harus ditaati.
4. Tipe kepemimpinan
demokratis (democratis leadership).
Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan
bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang
terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka
seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan,
pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang
berharga dalam usahan pencapaian tujuan.
5. Tipe kepemimpinan
paternalistis (paternalistis leadership).
Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam
hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan memberikan
arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.
6. Tipe kepemimpinan
menurut bakat (indogenious leadership).
Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka
berlatih dengan adanya sistem kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik
dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang
mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang
keahliannya dimana ikut berkecimpung.[14]
Selanjutnya menurut Kurt Lewin mengemukakan tipe-tipe
kepemimpinan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Otokratis,
pemimpin yang demikian bekerja kerang, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia
bekerja menurut peraturan yang berlaku dengan ketat dan instruksi-instruksinya
harus ditaati.
b. Demokratis,
pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan
bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang pelaksanaan
tujuannya. Agar setiap anggota turut serta dalam setiap kegiatan-kegiatan,
perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian. Setiap anggota dianggap
sebagai potensi yang berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.
c. Laissezfaire,
pemimpin yang bertipe demikian, segera setelah tujuan diterangkan pada
bawahannya, untuk menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya akan
menerima laporan-laporan hasilnya dengan tidak terlampau turut campur tangan
atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, semua pekerjaan itu tergantung pada
inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya, sehingga dengan demikian dianggap
cukup dapat memberikan kesempatan pada para bawahannya bekerja bebas tanpa
kekangan.[15]
Berdasarkan dari pendapat tersebut di atas, bahwa pada
kenyataannya tipe kepemimpinan yang otokratis, demokratis, dan laissezfaire,
banyak diterapkan oleh para pemimpinnya di dalam berbagai macama organisasi,
yang salah satunya dalam bidang pendidikan. Dengan melihat hal tersebut, maka
pemimpin di bidang pendidikan diharapkan memiliki tipe kepemimpinan yang sesuai
dengan harapan atau tujuan, baik itu harapan dari bawahan, atau dari atasan
yang lebih tinggi, posisinya, yang pada akhirnya gaya atau tipe kepemimpinan
yang dipakai oleh para pemimpin, terutama dalam bidang pendidikan benar-benar
mencerminkan sebagai seorang pemimpinan yang profesional.[16]
Penerapan
kepemimpinan sangat ditentukan oleh situasi kerja atau keadaan angota/bawahan
dan sumber daya pendukung organisasi. Karena itu, jenis organisasi dan situasi
kerja menjadi dasar membentuk pola kepemimpinan seseorang. Sebagai contoh
kepemimpinan dalam bidang pendidikan tentunya berbeda dengan kepemimpinan pada
organisasi swasta yang lebih berorientasi pada keuntungan (frofir-making organisation). Pada organisasi non fropit (nirlaba) orientasi kepemimpinan lebih
mengarah pada pemberdayaan seluruh potensi organisasi dan menempatkan
bawahan/karyawan sebagai penentu keberhasilan pencapaian organisasi, maka
sentuhan terhadap faktor-faktor yang dapat menimbulkan moral kerja dan semangat
untuk berprestasi menjadi perhatian utama.[17]
Peran
kepemimpinan dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan dilakukan
oleh seseorang sesuai kedudukanya sebagai pemimpin.
Dalam
aplikasinya, peran kepemimpinan yang dilakukan oleh Muhammad Rasulullah, dibagi
menjadi 2 bagian yaitu:
1. Servant
(pelayan). Memberikan pelayanan kepada anak buahnya
untuk mencari kebahagiaan dan membimbing mereka menuju kebaikan.
2. Guardian
(penjaga). Menjaga komunikasi Islam dari tirani dan
tekanan.
3. “pemimpin bagi muslim adalah perisai
bagi mereka”.
Sedangkan
Covey membagi peran kepemimpinan menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Pathfinding
(pencarian alur). Peran untuk menemukan visi dan
misi yang pasti.
2. Aligning
(penyelarasan). Peran untuk memastikan bahwa
struktur, sistem dan proses oprasional organisasi memberikan dukungan pada
pencapayyan visi dan misi.
3.
Empowering (pemberdaya).
Peran untuk mengerakkan semangat dalam diri orang-orang dalam mengungkapkan
bakat, kecerdasan dan kreativitas laten untuk mampu mengajarkan apa pun dan
konsisten dengan prinsi-prinsip yang dipastikan.[18]
Kepemimpinan
seseorang sangat besar pengaruhnya dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga
pembuat keputusan dan pengambilan tanggung jawab terhadap hasilnya adalah salah
satu tugas seoran pemimpin. Dengan demikin dapat dikatakan bahwa, jika pemimpin
tidak dapat membuat keputusan maka dia (seharusnya) tidak dapat menjadi
pemimpin. Kepentingan mendasar dari pengambilan keputusan ini ditunjukkan
dengan adanya pembahasan khusus tentang hal ini dalam berbagai disiplilin ilmu
filsafat, ekonomi, matematika dan ilmu-ilmu sosial telah memberikan kontribusi
bagi pengertian yang lebih baik bagaimana sebuah keputusan dibuat, atau
seharusnya dibuat.
Pengambilan
keputusan dalam tinjauan perilaku, mencerminkan karakter bagi seorang pemimpin.
Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah keputusan yang dibuat baik atau buruk
tidak hanya dinilai setelah konsekuensinya terjadi, melainkan melalui berbagai
pertimbangan dalam prosesnya.[19]
Kepimpinan
dalam manajemen, setiap orang mempunyai pengaruh atas yang lain-lain; dengan
prektik, pengaruh ini jadi tumbuh. Sebagian orang lebih banyak dapat
dipengaruhi dari yang lain-lainya, dan sebagai kondisi yang lebih banyak dapat
digunakan untuk mempengaruhi, maka sangat mungkin untuk mempraktikkan
kepemimpinan ini. Kita dapat memandan kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang
atau pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku orang lain menurut
keiginan-keinginanya dalam suatu keadaan tertentu. Kepemimpinan adalah suatu
pertumbuhan alami bagi orang-orang yang berserikat untuk suatu tujuan dalam
suatu kelompok. Beberapa orang dalam kelompok itu akan memimpin, bagian
terbesar akan mengikuti. Sebenarnya, kebanyakan orang mengiginkan seseorang
untuk menentukan apa yang harus dibuat dan bagaimana membuatanya. Seorang
pemimpin menerima tanggung jawab dan berhastrak untuk menjalangkan
keputusan-keputusan untuk persoalan-persoalan itu. Seorang pemimpin mengenal
dan memahami kebutuhan-kebutuhan dari orang-orang yang bukan pemimpin.
Seringkali, ini yang menjadi akibat untuk mengembangkan suatu lingkungan saling
pengertian, yang timbul dari banyak sidang-sidang partisipasi dan konsultasi.
Seorang
pemimpin melaksanakan rencana-rencana jadi kegiatan dan bemberikan sumbangan
untuk menjadikan sebuah rencana suatu kenyataan. Pemimpin itu menyampaikan
rencana itu kepada sekutu-sekutunya, menjalangkan maksud dari kegiatan itu,
mengatakan apa yang akan dibuat oleh setiap anggota, berusaha untuk
membangkitkan kegembiraan, dan berusaha untuk menyelesaikan setiap perselisihan
dikalangan anggota-anggotanya. Pada dasarnya, sang pemimpin memotivasi dan
membimbing perilaku anggotanya bukan pemimpin untuk memenuhi rencana itu dan
menyelesaikan pekerjaan yang dikendaki itu.
Para
pemimpin juga menjalangkan pungsi lainya, yang sangat penting. Mereka mencoba
untuk memahami persoalan-persoalan yang dihadapi para angota dan juga
perasaan-perasaan mereka terhadap persolan-persoalan ini, pekerjaan mereka,
sekutu-sekutunya, dan lingkungan kerja. Seringkali kegiatan ini diabaikan dalam
pembahasan-pembahasan kepemimpinan mengenai masalah-masalah ini serta perasaan
sekutu-sekutunya, memungkinkan para pemimpinu untuk memperoleh informasi dan
tanggapan tanggapan, yang dapat digunakan untuk memperbaiki perilaku mereka
sendiri agar mutu kepemimpinan mereka dapat ditingkatkan.
Misalnya, mengetahui
bagai mana perasaan kawan-kawan mengenai suatu soal tertentu, membantu pemimpin
itu untuk mengambil keputusan-keputusan, dan fakta-fakta operasional yang langsung
berasal dari mereka. yang melaksanakan pekerjaan itu, adalah penting untuk
“meng-appresial” usaha-usaha pekerjaan yang sedang dilakukan. Selanjutnya,
suatu motifasi yang dampaknya menguntungkan bagi kelompok itu, didapati kalau
pemimpin itu benar-benar menunjukkan perhatianya tentang apa yang dilakukan
anggota-anggotanya dan mengenai bagaimana pikiran mereka tentang pekerjaan yang
dilakukanya. Sebenarnya, terdapat instuksi-instruksi timbal balik antara
pemimpin dan bukan pemimpin.
Bukannya tidak bisa non pemimpin mempengaruhi
pemimpin. Tanggapan mereka atas permintaan-permintaan pemimpin cendrung untuk
sangat mempengaruhi perilaku pimpinan itu sendiri. Juga, banyak
pemimpin-pemimpin, yang mengindahkan benar perilaku yang dimulai oleh
orang-orang bukan pemimpin. Pengindahan seperti itu memberikan kepada pemimpin
pegangan, mengenai kelompok itu dan menyerahkan perbaikan-perbaikan dalam
perilaku pemimpin itu sendiri untuk hubungan-hubungan yang lebih serasi.[20]
Menurut
penulis musyawarah adalah mengajukan gagasan yang terbaik dari perbandingan
gagasan yang dihasilkan. Jadi pengambilan keputusan secara musyawarah dalam
manajemen pendidikan Islam ialah suatu proses pengelolaan lembaga pendidikan
Islam secara Islami yang segala keputusannya dengan mempertimbangkan perkataan,
tawaran ide, atau gagasan suatu pemikiran dengan berembuk dengan mengambil
keputusan secara bersama tampa mengecewakan
beberapa pendapat, sehingga keputusan tersebut dapat di terima secara
bersama.
[1]M. Quraisi shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Cet.II; bandung:
Mizan, 2001), h. 272.
[2]Kementian Agama RI, op.cit.,
h. 103.
[3]J. Suyuthi
Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan
dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’anh. h. 220
[4]Muhammad Imaroh,
Perang Terminologi Islam
Versus Barat, (Jakarta:
Robbani Press,1998), h. 171.
[5]Asep Sulaiman, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
(Bandung:Asman Press,2012), h. 113.
[6]Ibid, h. 132.
[7]Aep Saepuloh dan Tarsono,
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi Islam (Bandung : Batik Press,2012), h.124.
[8]
Ibid. 123.
[9]Sudarwan Danim, Motivasi Kepempinan dan Efektivitas
Kelompok, (Cet, I; Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2004), h. 55-56.
[10] Kementian
Agama RI, op.cit., h. 132.
[11]Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (terj), As’ad
Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 54.
[12]Kementian Agama RI, Op.Cit., h. 13.
[13]Wahyudi, Manajemen Konplik Dalam Organisasi, (Cet, IV; Bandung: CV. Alfabeta,
2011), h. 117.
[14]Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan,
(Bandung : Rosdakarya, 1996) h. 261-262.
[15]Maman Ukas,
Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999) h.
253.
[16]Ibid, h. 254.
[17]Sudarwan Danim, op.cit., h. 119 .
[18]Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi, Ed,
I. (Cet;
I, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), h. 148.
[19]Ibid, h. 151.
[20]George R. Terry Lesline
W. Rue, Dasar-dasar Manajemen, (Cet,
IV; Jakarta: PT. Bumi Aksa, 1992), h. 192-194.
izin share pak
BalasHapus